Monday, 21 March 2011

IKLIM POLITIK INDONESIA


Publik kembali dihadapkan pada satu sekuel drama politik baru. Jika sebelumnya pihak pemerintah sering kebakaran jenggot akibat sikap kritis tanpa tedeng aling-aling yang diperankan oleh partai oposisi (PDI Perjuangan) dan beberapa partai di tubuh koalisi pemerintahan SBY-Budiono.

Sebutlah misalnya saat Wasekjen PKS, Mahfudz Sidiq, menebar jala wacana menggalang kekuatan partai tengah yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (SETGAB) untuk membentuk aliansi politik baru bernama Koalisi Partai Tengah.

Namun kini guncangan baru justru datang dari ruang yang lebih besar dan luas, mewakili seluruh masyarakat Indonesia. Bukan atas nama partai politik yang kini mulai diragukan komitmennya, tapi artikulasi baru ini datang dari suara suci pemimpin Masjid, Gereja, Vihara dan Pura yang memiliki integritas kuat dan menjadi anutan di tengah-tengah masyarakat.

Politik Yang Dirindukan

Polemik politik baru ini bermula saat sejumlah tokoh lintas agama melangsungkan pertemuan di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Menteng pada Senin (10/1/2011). Seperti dilansir beberapa media, pertemuan saat itu dihadiri oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang, Andreas Yewangoe, Buya Syafii Maarif, Franz Magnis Suseno, KH Salahuddin Wahid, dan Biku Sri Pannyavaro.

Para ulama lintas agama ini berteriak lantang ke public dan menuding pemerintahan SBY “berbohong” dengan membawa sejumlah data pendukung. 18 kebohongan yang terdiri dari sembilan kebohongan lama dan sembilan kebohongan baru tersebut, tentu sebuah ancaman yang cukup telak bagi istana. Betapa tidak, repsentasi dari seluruh agama yang ada di Indonesia ini, juga menjadi representasi masyarakat.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Burhanudin Muhtadi bahwa kritik atas kebohongan SBY menurut ulama lintas agama tersebut memiliki bobot tinggi karena dua hal. Pertama, adalah sumber kritik. Bahwa para tokoh agama sebagai sumber yang menggulirkan wacana tersebut memiliki integritas di mata publik. Sebagai penjaga moral, dan ketokohan yang kuat mewakili kelompok agama masing-masing.

Kedua, soal materi kebohongan. Ketika para tokoh agama menyebut kata ‘bohong’, itu ibarat menyuarakan kebenaran publik. Hal tersebut langsung menyerang integritas SBY dan pemerintah. Sehingga dua hal ini menjadi potensi untuk memicu timbulnya public pressure yang mengancam singgasana SBY.

Jika melihat kebelakang, hal ini bisa menjadi akumulasi kekecewaan atas kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada rakyat, serta kebosanan masyarakat dengan lakon politik transaksional yang sudah menjadi gaya politisi negeri ini.

Sebut misalnya kasus baill out Bank Century yang berakhir dengan transaksi politik berupa pembentukan Sekretariat Gabungan (SETGAB), dan memberi kuasa pada partai Golkar sebagai ketua. Belum lagi kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang juga diseret ke ranah politik. Rekening gendut Polri yang tenggelam, serta kasus KPK-Polri yang tidak tuntas.

Kenyataan tersebut menyakiti esepektasi masyarakat akan janji-janji politik SBY-Budiono di masa kampanye Pilpres 2009, sehingga suara ulama yang dipandang sebagai ruh suci di dalam masyarakat, menjadi sesuatu yang dirindukan. Sebagai sandaran moral bagi politisi dan pemimpin negeri ini.

Namun disisi lain perlua adanya kewaspadaan jika keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mencari popularitas. Sehingga dalam hal ini tokoh lintas agama tersebut harus waspada jangan sampai menjadi bahan eksploitasi dan ‘dipolitisasi’ sehingga justru hilang wibawanya di mata publik.

Dan gejala ini nampaknya sudah muncul karena Senin (17/1) sejumlah politisi dari beberapa partai yang selama ini getol mengkritik SBY, justru hadir dalam acara “100 Tokoh Pergerakan” di Gedung Joang Jakarta yang secara terang benderang ingin memakzulkan SBY.

Sebut saja misalnya Yuddy Chrisnandi (Hanura), Permadi (Gerindra), Ahmad Yani (PPP), Mahfudz Siddiq (PKS), Indra J. Piliang (Golkar), Fuad Bawazier (Hanura), Firman Djaya Daeli (PDIP) dan Effendy Choirie (PKB). Dalam hal ini, tokoh lintas agama yang lebih dahulu mewacanakan hal tersebut, harus menjaga kesucian moral dan tidak terkooptasi pada arus konspirasi politik baru.

Delegitimasi Kuasa SBY dan Ancaman Impeachment Gerakan “Tokoh Lintas Agama” yang kemudian disusul oleh gerakan “100 Tokoh Pergerakan” , serta aliansi nasional 11 gerakan mahasiswa bisa menjadi pintu impeachment. Hal ini bisa kita baca dari gerakan 100 tokoh, di dalamnya terdapat sejumlah politisi dari partai yang selama ini vokal dalam mengkritik pemerintah.

Dalam hal ini, adalah putusan MK yang menganulir persyaratan persetujuan pengajuan hak menyatakan pendapat (HMP) anggota DPR pada Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD bisa menjadi pintu gerbang konstitusional.

Pada pasal 184 ayat 4 UU No 27 Tahun 2009,berbunyi, “Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi menjadi Hak Menyatakan Pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dengan persetujuan paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR yang hadir”.

Gerakan tokoh lintas agama yang kemudian disusul oleh gerakan 100 tokoh pergerakan ini, bisa menjadi pintu impeachment. Bukan tidak mungkin, 18 kebohongan SBY versi tokoh lintas agama menjadi bahan dan fakta pendukung untuk selanjutnya dibawa ke paripurna atas nama hak menyatakan pendapat ataupun bentuk langkah poltisi lainnya.

Oase Politik Moral

Pasca reformasi bergulir tahun 1998 dan membuka kran demokratisasi, ulama ataupun tokoh agama yang ingin memberi sumbangsih kepada pemerintah, pun ramai-ramai terjun ke dunia politik praktis. Bergabung di dalam salah satu partai politik, sebagaimana logika yang lazim berlaku dalam demokrasi.

Akan tetapi, masuknya ulama ke partai politik justru menimbulkan resistensi bagi umat. Karena logika publik mengatakan bahwa politisi adalah milik partai politiknya, milik kelompok tertentu. Sehingga secara otomatis, langkah politik seperti itu melunturkan kharisma ke’ulama’an seseorang pemuka agama.

Hal ini bisa kita lihat dari upaya transformasi nilai-nilai agama ke dalam partai politik yang berbasis agama, namun menjadi absurd di mata public. Partai Islam misalnya ada PKS, PPP, PBR, PKNU, PKB, dan PMB, untuk partai Kristiani ada PDS.

Disetiap partai tersebut, ulama ataupun tokoh agama memiliki posisi sentral. Namun apa daya, ternyata partai yang secara terang-terangan berbasis agama dengan sejumlah tokoh agama di dalamnya, toh gagal meraih suara signifikan. Artinya bahwa masyarakat melihat ulama sebagai kelompok suci milik seluruh umat yang tidak boleh diklaim oleh sekelompok fihak atas nama partai politik.

Jika kita menelisik lebih jauh, tampilnya ulama yang tergabung dalam “Tokoh Lintas Agama” ini, menjadi warna baru dalam jagad politik bangsa Indonesia. Dalam konteks kepemimpinan, ulama adalah pemimpin informal yang memiliki kekuatan massa dan secara langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Representasi dan penjaga moral umat beragama di Indonesia. Dan hadirnya ulama melakukan kontruksi demokrasi dalam bentuk kritik, menjadi teguran moral. Setidaknya mengobati dahaga oase demokrasi atas praktek politik transaksional dan imaging (pencitraan) yang mengaburkan makna politik ataupun kekuasaan yang selama ini diprkatekkan.

Mengutip Arbi Sanit, bahwa ulama memiliki akar yang kuat di tengah-tengah masyarakat dan dibangun dari kontruksi emosional-ideologis. Untuk konteks ini, term-term demokrasi dalam prakteknya di Indonesia tidak lagi berlaku.

Jika melihat konsep demokrasi di Republik Islam Iran, dimana kepemimpian tertingginya di bawah kendali ulama, maka peran tokoh lintas agama di Indonesia, dari sekedar sebagai guru spiritual dan pemberi fatwa serta peran-peran politis sekunder di musim pemilihan umum dan kepala daerah, kedepan bisa saja bergeser menjadi tokoh sentral untuk mengontrol republik ini.

Tentunya tanpa harus mengikuti “kegagalan” kelompok ulama sebelumnya yang bergabung dengan partai politik.



Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment