Monday 24 October 2011

Ekonomi Kerakyatan Versus Tengkulak

Sayang beribu kali sayang, Yeti saat itu tidak menyimpan uang. Walau begitu, Yeti memiliki sebuah Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Buku yang menjadi tanda milik atas sebuah bus ALS jurusan Kapur IX-Payakumbuh tersebut, akhirnya dipinjamkan dengan ikhlas kepada Neni.
”Kalau uang, saya tidak punya. Tapi BPKB saya punya. Pakailah untuk jaminan meminjam uang. Nanti  tolong dikembalikan,” kata Yeti kepada Neni, sebagaimana diceritakan ulang oleh Kapolres Limapuluh Kota AKBP Chairul Aziz, bersama Kasat Reskrim AKP TM Simanungkalit dan Kanit II Pidana Khusus Bripka JH Sinaga kepada Padang Ekspres, Kamis (12/3) pekan lalu.
Mendengar ungkapan Yeti, alangkah senang hati Neni. Dipelupuk matanya mungkin saja sudah terbayang, bagaimana BPKB pinjaman dari Yeti, bisa dimanfaatkan sebagai jaminan saat mengutang modal usaha untuk berdagang. Tapi sayang, Neni dan Yeti sama-sama lupa, kalau aksi pinjam-meminjam BPKB yang mereka lakukan, sebenarnya tidak diketahui suami Yeti.
Singkat cerita, selepas menerima BPKB dari Yeti, Neni langsung menghubungi Lolita, seorang kenalannya yang tinggal di Nagari Muaropaiti. Kepada Lolita ini, Neni tidak meminjam uang. Tetapi meminta bantuan Lolita, agar bisa memfasilitasinya dengan Hj Petra Yulius alias Tupet, 34, saudagar kaya di Muaropaiti.
”Kebetulan Lolita adalah orang kepercayaan Hj Tupet. Setiap ada warga di Kecamatan Kapur IX yang meminjam uang atau barang-barang kepada Tupet, baik emas maupun elektronik, Lolita sering menjadi perantara. Makanya, Neni meminta pula bantuan Lolita,” tutur Chairul Aziz.



Permintaan Neni untuk berjumpa dengan Tupet dijembatani dengan baik oleh Lolita. Mereka berdua sama-sama datang menemui Tupet. Dari pertemuan itu disepakati, Neni meminjam 10 gram emas kepada Tupet. Dengan catatan, satu gram emas yang dipinjam Neni, nilainya seharga Rp830 ribu. Sedangkan pengembaliannya seharga Rp1,3 juta.
”Artinya, jika Neni dipinjamkan 10 gram emas, berarti dia harus mengembalikan seharga Rp13 juta. Selain itu, Neni juga meski meninggalkan BKPB yang tadinya dipinjam dari Neti, sebagai jaminan untuk Hj Tupet,” imbuh Chairul Aziz.
Setelah menyetujui kesepakatan hutang-piutang dengan Tupet, Neni akhirnya berhasil membawa pulang pinjaman emas murni sebanyak 10 gram. Emas sebanyak itu, tidak diambil semuanya oleh Neni. Tapi dipinjamkan pula sebesar  2 gram kepada Yeti, orang yang tadi ‘berjasa’ meminjam BPKB buat dirinya.
Dengan demikian, dari 10 gram emas  yang dipinjam Neni kepada Tupet, sebanyak 8 gram menjadi hutang Neni. Sedangkan 2 gram sisanya, merupakan tanggungan hutang Yeti. Konon, ini semua sudah iketahui oleh ketiga belah pihak. Baik Neni, Yeti, maupun Tupet. Bahkan, Lolita yang menjadi perantara ikut pula mengetahuinya.
Tapi persoalan selalu datang kemudian hari. Tanpa sepengetahuan Neni ataupun Lolita, Yeti rupanya sudah punya hutang pula kepada Tupet. Hutang Yeti itu menurut versi Tupet, berjumlah sekitar 8 gram emas. Artinya, ada 10 gram emas yang harus dibayar Yeti kepada Tupet.
Jumlah itu menurut pengakuan Tupet tidak pernah dibayarkan Yeti.  Sedangkan temannya Neni justru membayar dengah lancar. Akibatnya, persoalan pelik tak bisa dihindari lagi. Ketika Yeti dan suaminya bermaksud menjual bus ALS milik mereka, tentu dibutuhkan BPKB. Adapun BPKB berada di tangan Tupet.
Alhasil, datanglah Yeti ke rumah Tupet untuk meminta BPKB. Tupet tidak mau memberikan surat berharga tersebut, dengan alasan Yeti belum membayar utangnya sebesar 10 gram emas atau senilai Rp13 juta. Tapi Yeti juga punya alasan tersendiri. Dia mengaku, hanya punya berhutang 2 gram emas kepada Tupet, itupun melalui temannya Neni. ”Kalau dua gram itu, saya sanggup bayar. Tapi sepuluh gram tidak ada,” begitu pengakuan Neni kepada penyidik.
Lantaran tidak ada kata sepakat, Neni akhirnya melaporkan Tupet kepada polisi. ”Tupet dilaporkan dengan kasus dugaan penggelapan BPKB,” ujar AKBP Chairul Aziz, perwira yang pernah menimba ilmu kemitraan Polri dengan masyarakat di negeri gajah Thailand.
Libatkan Ratusan Orang
Hanya beberapa hari kemudian, polisi menerima pula laporan dari enam perempuan yang masih berasal dari Kecamatan Kapur IX, Kabupaten Limapuluh Kota. Mereka adalah Helda, 32, Doti Erawato, 35, Pipi Anggraini, 29, Wiwit, 36, dan Susanti, 36, yang sama-sama berasal dari Nagari Sialang, serta Tanti Asmara, 35, asal Nagari Durian Tinggi.
Dalam laporan kepada polisi, ibu-ibu dari sentral perkebunan gambir di Indonesia itu mengaku, mengalami nasib seperti Yeti dan Neni. Mereka juga ‘terjebak’ dalam kasus hutang-piutang berbunga tinggi kepada Tupet. Dengan jaminan tidak hanya BPKB tapi juga sertifikat tanah.
”Jumlah pinjaman keenam ibu-ibu petani gambir ini berbeda-beda, Helda meminjam kepada Tupet 10 gram emas. Tanti juga meminjam 10 gram emas. Begitu pula dengan Doti, Sedangkan Titi Anggraeni minjam duit Rp33 juta. Susanti meminjam 2 gram emas dan wiwit 5 gram emas. Pola peminjaman, tetap sama. Dipinjam seharga Rp830 ribu pergram emas, dibayar kepada Tupet Rp1,3 juta,” jelas Chairul Aziz.
Tupet sendiri kepada penyidik membenarkan telah memberi pinjaman. Tapi menurut Tupet, sebagaimana dibenarkan pengacaranya Setia Budi dari LBH Payakumbuh, dia tidak pernah memaksa orang meminjam duit kepada dirinya. ”Oranglah yang datang meminjam kepada saya. Mereka juga setuju dengan pola yang saya pakai. Tidak ada unsur paksaan. Dasarnya suka sama suka dan kesepakatan bersama,” begitu pengakuan Tupet.
Menariknya lagi, menurut Tupet, di Kecamatan Kapur IX, negeri petro dolar di perbatasan Sumbar dengan Riau tersebut, banyak ibu-ibu yang meminjam uang  dirinya ataupun saudagar lain yang lebih kaya. Jumlah mereka tidak hanya puluhan orang, tapi diperkirakan sudah mencapai ratusan orang.
”Sebelum suaminya memanen hasil kebin gambir, mereka sudah meminjam uang kepada saya. Mereka takut meminjam kepada toke, karena bisa-bisa harga dimainkan. Selain meminjam uang atau emas, mereka juga ada yang meminjam barang-barang elektronik seperti televisi dan antena parabola. Polanya berupa angsuran atau kredit,” ujar Tupet, sebagaimana dituturkan kembali oleh Kasat Reskrim Polres Limapuluh Kota AKP TM Simanungkalit.
Perbankan tak Berpihak
Kondisi yang diceritakan Tupet kepada penyidik, hampir mirip dengan hasil investigasi terbatasa Serikat Petani Indonesia (SPI) di perkebunan gambir, Kecamatan Kapur IX. Menurut aktivis SPI Sago, para petani gambir memang sering terperangkap budaya cosmopolitan. Mereka tanpa ragu-ragu hidup dengan cara “gali lubang tutup lubang”, lama-lama terperangkap hutang.
Ironinya lagi, para petani gambir ataupun ibu-ibu yang masuk dalam jeratan tengkulak di Kapur IX, rata-rata berasal dari keluarga miskin. Mereka memiliki keterbatasan akses informasi dan sumber daya manusia. Mereka juga tidak punya celah untuk memperoleh kredit modal usaha atau kredit pertanian yang digembar-gemborkan pihak perbankan mudah untuk diperdapat.
”Apo nan bisa kamu pabuek? Pitih ndak ado, awak paralu bareh juo. Awak taragak bativi juo. Awak taragak baonda pulo. Manjalang gambia ka dikampo, tantu iyo rancak maminjam pitih ka urang kayo (Apa yang bisa kami perbuat? Duit tidak ada, sementara kita perlu beras. Kita ingin punya televisi dan motor. Makanya, menjelang gambir dipanen, tentu bagus minjam duit)” kata Barina, 46, ibu rumah tangga yang ditemui Padang Ekspres di pasar Muaropaiti, Minggu (13/3) siang.
Barina mengatakan, meminjam uang kepada orang kaya (tengkulak-red), memang dengan bunga tinggi. Tapi urusan mereka murah. ”Kalau ka bank payah pak, awak ndak pandai tulih-baco. Bank mintak pulo jaminan (Kalau minjam duit bank susah pak, saya tidak bisa tulis baca. Bank meminta pula jaminan)” ucap ibu tiga anak ini apa adanya.
Di sisi lain, aktivis gerakan ekonomi kerakyatan di Limapuluh Kota Yulfian Azria, menyarankan kepada pihak perbankan, agar menjadikan kasus Kapur IX ini sebagai sebuah refleksi. ”Ternyata kredit perbankan yang katanya mudah untuk petani dan pelaku usaha kecil, tidak gampang didapat warga Kapur IX. Perbankan tidak berpihak kepada mereka, sehingga mereka berhutang kepada tengkulak,” kata jebolan Fakultas Ekonomi Unand ini.
Kembali kepada kasus penggelapan yang melibatkan Tupet, Neni, Yeti, Lolita, Helda, Tanti Asmara, Doti, Titi Angraini, Susanti, dan Wiwit, aparat kepolisian mengaku masih terus menyelidikinya.
”Tapi terus terang, kita agak kesulitan untuk memutuskan kasus ini adalah penggelapan. Sebab dasarnya suka sama suka. Ketika meminjam uang, mereka sama-sama sepakat. Ketika tak mampu membyar, baru melapor. Ini kan lucu juga,” kata AKP TM Simanungkalit.

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment