Sunday 2 October 2011

KPK dan Korupsi Birokratis


istilah "korupsi birokratis", istilah baru yang secara hukum menimbulkan konsekuensi hukum tertentu.

Istilah "korupsi birokratis" menimbulkan konsekuensi hukum terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika istilah ini khusus ditujukan pada korupsi di kalangan penyelenggara negara, sebenarnya secara tegas dan jelas dengan pemakaian kalimat "setiap orang", dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001; dan diperkuat lagi dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang menghapuskan segala prosedur yang melekat pada pelaku korupsi itu.

DARI sisi preventif dalam arti luas adalah membangun sistem pemerintahan yang bebas KKN, UU itu belum memadai. Namun, dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan beralihnya fungsi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ke KPK, maka sisi preventif dimaksud sudah inheren ke dalam tugas pokok dan fungsi KPK. Dari sisi efisiensi mungkin ada benarnya peleburan tugas pokok, fungsi dan peran KPKPN ke dalam KPK. Akan tetapi, dari sisi efektivitas, peleburan tersebut justru menimbulkan masalah baru, yaitu hasil kinerja KPK menjadi kurang signifikan karena beban tugas dan tanggung jawabnya semakin luas dan besar, antara lain mencatat dan mendata serta mengklarifikasi harta kekayaan penyelenggara negara yang jumlahnya mencapai jutaan orang.

Tugas dan tanggung jawab ini pun oleh KPKPN belum dapat diselesaikan sepenuhnya sampai saat ini. Dikhawatirkan juga dengan peleburan itu dalam mengemban amanat UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 serta UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK akan berjalan lamban dan terseok-seok. Kondisi ini semakin buruk lagi dengan harapan dan tuntutan masyarakat yang sangat besar terhadap kinerja KPK saat ini, sehingga dikhawatirkan KPK bukan saja sebagai superbody, melainkan juga overweight. Sementara jumlah pemimpin hanya lima orang yang membawahi bidang: pencegahan, penindakan, informasi dan data, bidang pengawasan internal, serta pengaduan masyarakat.

Dalam kaitan membangun sistem pemerintahan yang bebas KKN, KPK berwenang antara lain melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 6 huruf e juncto Pasal 14) dan meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan korupsi kepada instansi terkait, termasuk instansi-instansi yang bertugas melaksanakan fungsi pelayanan jasa kepada masyarakat luas. Selain itu, KPK juga berwenang meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan korupsi (Pasal 7 huruf c dan e) yang diperkuat dengan tugas dan wewenang melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi kepada kinerja penyelenggara negara termasuk di dalam bidang pendidikan (Pasal 6 juncto Pasal 13). Di dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia belum pernah ada lembaga yang memiliki wewenang seluas ini; bahkan di negara lain sekalipun di mana tugas dan wewenang koordinasi, supervisi, penyelidikan, serta penyidikan dan penuntutan dan pencegahan berada dalam satu tangan.

Persoalan peleburan fungsi KPKPN ke dalam KPK sesungguhnya bukanlah terletak semata-mata pada masalah hukum yang masih bersifat "dapat diperdebatkan", melainkan pada efektivitas kinerja KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum baru dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan sekaligus lembaga satu-satunya dan terakhir yang diharapkan dapat memberantas korupsi secara optimal serta memenuhi harapan rakyat. Dengan tugas dan wewenang yang sangat luas itu, masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi ke dalam kinerja pemberantasan korupsi bersama-sama dengan KPK. Apalagi dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 secara eksplisit ditetapkan KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka kepada presiden, DPR, dan BPK (Pasal 20). Pertanggungjawaban KPK ini sejalan dengan lima asas KPK yaitu; kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas (Pasal 5). Sudah tentu di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK memerlukan mitra kerja yang seimbang dan berwibawa dan bersandarkan kepada kelima asas tersebut.

Jika peleburan itu menjadi kenyataan dan atas pertimbangan efektivitas serta atas dasar pertimbangan di atas, maka perlu digagas suatu lembaga independen yang bertugas mendorong dan memperkuat kinerja KPK tersebut sehingga seluruh tugas dan wewenang KPK dapat dilaksanakan secara optimal. Penulis sudah mempersiapkan pembentukan suatu lembaga independen yang disebut epistemic society, terdiri dari birokrat, para ahli praktisi hukum, LSM/NGO, dan organisasi kemasyarakatan dengan tugas pokok melaksanakan pemantauan atas kinerja pemberantasan korupsi tidak semata-mata terbatas kepada kinerja KPK, tetapi meliputi instansi kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan dan MA.

Lembaga ini diberi nama Forum Nasional Pemantau Pemberantasan Korupsi (FNPPK) bertugas menyusun grand design mengenai Rencana Aksi Nasional Pemberantasan ko- rupsi yang bersifat komprehensif dengan memperhitungkan faktor sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum dan KPK. Selain itu, akan disusun strategi pemberantasan korupsi dengan target pencapaiannya tiap tahun untuk selama lima tahun mendatang. FNPPK akan menyusun blue print pemberantasan korupsi dan sekaligus memasukkan unsur-unsur monitoring dan kontrol baik yang bersifat internal maupun eksternal.

Diharapkan FNPPK dapat menjadi counterpart KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UU. Pembentukan lembaga ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga ini juga memiliki landasan hukum yang jelas sebagaimana telah diatur dalam Bab V (Pasal 41-42) tentang Peran Serta Masyarakat UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, dan UU Nomor 30 Tahun 2002.

Selain dasar hukum nasional maka dasar hukum internasional dari pembentukan lembaga semacam ini sudah diatur dalam Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 di mana pemerintah Indonesia sudah menandatangani konvensi tersebut, khususnya diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 13 tentang Partisipasi Masyarakat. Diharapkan pemerintah segera meratifikasi konvensi tersebut karena UU nasional pemberantasan korupsi di Indonesia jauh sebelumnya sudah mengantisipasi materi muatan dalam konvensi tersebut.

Untuk memperoleh daya dukung yang kuat, FNPPK bekerja sama dengan seluruh kekuatan sosial di masyarakat dan dengan lembaga serupa di Negara lain. Pembentukan FNPPK tidak identik dengan KPK dan tidak dimaksudkan untuk bersaing karena lembaga ini tidak memiliki wewenang seperti KPK. Lembaga ini diharapkan dapat bekerja sama dengan KPK dan KPK dapat menerima FNPPK sebagai partner kerja yang sederajat.


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment