Monday 24 October 2011

Jarak Antara Rakyat dan Pemimpin


SERINGKALI terjadi, ada jarak atau jurang (sama ada sempit, menengah, dan atau sangat lebar) antara rakyat dengan pemimpinya. Bahkan, pemimpin yang berjarak dekat dengan rakyatnya — apa pula pemimpin yang terlalu jauh di atas anjung peranginan (baca: di atas awang-awang atau di atas awan—CMD). Lalu, apa yang terjadi, bilamana ada jarak/jurang antara pemimpin dengan rakyatnya dan atau sebaliknya?

Yang akan terjadi, rakyat ratik-tonjong bersama problemanya, pahit-getir kehidupannya, dan berbagai kesulitan yang menghimpitnya — sampai mereka tak tahu harus berbuat apa dan berharap pada siapa. Ilmuwan mengintroduksi satu kata aneh: Kemiskinan struktural. Yaitu, mereka yang hidup miskin itu sudah ikhlas menerima kemiskinannya. Ada istilah lagi new needy atau orang miskin baru yang semula tidak termasuk kategori miskin, tapi, manakala ada situasi tak menguntungkan (by accident) dan atau karena kesalahan pemimpin dalam membuat kebijakan dan bertindak, mereka terlempar ke lembah menjadi orang miskin — mereka tidak ikhlas menerima menjadi miskin dan memanggul dendam sosial terhadap pemimpin yang mereka tahu karena pemimpin, mereka jatuh miskin! Ada pula istilah “orang kaya baru” mungkin karena ia menang lotere atau mendadak terpilih menjadi politisi atau pejabat naik pangkat, atau karena politisi/pejabat tadi korupsi.

Sedang pemimpin pula — bersama para pengikut/cecungguk (orang yang jadi pemimpin karena mengekor pada pemimpin) di sekitarnya, ratik tonjong pula di atas pentas kekuasaannya, mabuk tidak terkira-kira karena meminum air dari gelas berisi mantera kekuasaan yang over dosis, ia asyik tertawa dan cengengesan sendirian, merasa apa yang tengah berlaku “and every thing was okay”, dan bahkan merasa heran kenapa semua mereka yang mengeritik begitu usil dan syirik kepadanya? Kenapa orang-orang yang mengeritik pemimpin itu begitu kere/begitu tidak berharga. Karena itu apa yang dikemukakan sebagai kritik akan dianggap sebagai angin lalu atau mereka hanya karena meniru anjing yang menggonggong, yang bilamana diberi sepotong daging, mereka tak hanya akan diam, tapi akan manut pada yang memberinya tadi.


Kalau jarak antara pemimpin dengan rakyat, mungkin bisa saja seperti dalam petatah-petitih Minang: daulu salangkah/tinggi sarantiang. Artinya, kalau pemimpin tersalah masih dalam jamba/jangkauan rakyatnya dan dapat ditarik kembali ke pangkal jalan/on the right track — diingatkan kalau pemimpin itu keliru. Kalau pula jarak sudah agak jauh, maka timbul kesulitan, suara rakyat sudah tidak akan kendengaran lagi oleh pemimpin — yang kedengaran hanya suara orang-orang di sekitar pemimpin itu. Kalau rakyat berada pada jarak atau di antara jurang yang buruk karena agak jauh jarak, pemimpin itu tak hanya tidak akan pernah mengetahui persis apa yang ada di seberang jurang di mana rakyatnya berada!?

Kalau jarak antara pemimpin dengan rakyat semakin jauh — jauh tinggi di angkasa, di atas awang-awang, dan diatas awan putih, maka pemimpin totally tidak melihat/tidak mengetahui rakyatnya. Bahkan, mungkin pemimpin merasa, rakyat itu “tidak ada” — seperti pembicaraan jarak dalam filosofi Shinto tentang “ma”.  Dalam pandangan Barat, misalnya, dalam satu antara dua, tak ada sesuatu atau yang ada kosong. Filsafat Shinto menyebutnya sebagai ada: yang ada adalah tidak ada atau “ma” (kosong). Bagaimana pula membayangkan kalau pemimpin berjarak sangat jauh dengan rakyatnya, hatta ia menganggap “rakyat tidak ada” atau apa pun yang akan diputuskannya/apa pun yang akan dibuatnya, rakyat harus terima.

PEMIMPIN itu, Yuang! Katakanlah ada seorang penghulu kaum, seorang datuk kepala suku. Sama ada ia menjadi datuk/pemimpin karena gilirannya dan atau karena proses yang memilihnya menjadi kepala suku atau datuk atau penghulu kaumnya, maka ia tetaplah berada di tengah sukunya, di tengah kaumnya — di dalam bukan di luar! Karena itu dalam filsafat/adat-budaya Minangkabau pemimpin bukan penguasa tapi, karena didaulat. Karena kaum yang memberinya kuasa, dan kalau pun disebut berkuasa juga, maka ia itu berkuasa atas nama yang memberinya kuasa: kaumnya atau sukunya!

Kalau pemimpin berada di tengah suku atau kaumnya, maka penghulu/pemimpin itu akan mengetahui dengan saksama: darah/detak jantungnya dari suku atau kaumnya; takdirnya sebagai pemimpin adalah mengetahui suara hati-nurani dan apa yang menjadi masalah serta apa beban yang menghimpit kaumnya — ia akan mendengarkan apa bisikan nurani kaumnya; bersama-sama kaumnya ia akan memecahkan masalah yang dihadapi kaumnya; dan bersama-sama dengan kaumnya akan meringankan beban yang menghimpit rakyatnya itu.
Lalu, bagaimana, Nyiak? Kalau penghulu suku tidak berada di tengah kaumnya — merasa pun ia tidak!?

Inyiak Magek Dirih agak terhenyak ditanya cucunya demikian. Berulang-ulang ia menarik nafas dalam dan panjang.
Yang pasti, Yuang, hal itu tidaklah lazim. Sepanjang sejarah filsafat dan adat-budaya Minangkabau, tidak pernah ada penghulu kaum yang merasa berada di luar kaumnya. Yang ada, kini mulai mewabah, banyak penghulu berada di luar wilayah adat kaumnya — secara fisik (entah secara pangana). Kepala suku atau datuk berada di kota, atau di rantau, tapi, ia seorang penghulu! Itu karena, sekarang, warga suku memilih penghulu kaumnya dari siapa yang populer, yang pintar menampilkan diri dan membangun citra diri — sedang calon penghulu suku sesungguhnya tidak layak/tidak memenuhi kriteria — ia sama sekali tidak mampu!

“Bagaimanalah, Yuang. Rakyat itu sebetulnya masih bodoh — pemimpin pandai memanfaatkan situasi rakyat bodoh itu dan yang penting baginya ia terpilih secara demokratis!” kata Inyiak Magek Dirih.

DALAM situasi kehidupan berbangsa/bernegara/berpemerintah yang berkembang dalam kehdupan yang demokratis yang amat dinamis dan fluktuatif, pemimpin dipilih oleh rakyat. Kata tingkat “populeritas” dan “pencitraan”, rupanya lebih penting dari melayani/meningkatkan kejahteraan dan menaikkan atau meninggikan harkat-martabat bangsa. Sekarang, hal itu menjadi konsekuensi logis dan risiko dari pilihan berdemokrasi berdasarkan suara terbanyak — no point return/nasi sudah jadi bubur/tak mungkin kita menarik jarum jam ke belakang/qa fata man fata wa la ya’udu manfata. Lalu apa yang kita nak buat? Ya, berbagai distorsi/deviasi yang terjadi dari berdemokrasi Barat yang kita lalui, harus kita benahi dan perbaiki, serta rapikan, sebagai bagian dari kita belajar berdemokrasi Barat!

Karena pemilih menentukan pemimpinnya melalui mekanisme pemilihan umum yang demokratis — memenangkan calon yang memperoleh suara tertinggi, maka kita sesungguhnya kita sudah membuat kontrak politik/membuat keterikatan dengan pemimpin itu untuk selama masa jabatannya lima tahun!). Sesungguhnya, kita mungkin baru menyadari telah salah pilih. Ketika memilih kita silau pada wajahnya yang menyenangkan dan tampak santun —mungkin juga karena kumis calon itu yang lebat, kita terpesona pada pidatonya yang melenakan karena penuh dengan kata-kata/janji indah, dan karena kampanye pencitraannya yang hebat. Ketika pemimpin yang kita pilih ternyata/terbukti tidak memuaskan, ternyata/terbukti tidak mampu, ternyata/terbukti hanya pandai bicara dan tidak bertemu dalam kenyataan — karena ternyata hanya retorika tanpa ada agenda kongkret untuk melaksanakannya.

Jadi, ternyata, yang berubah hanya sistem/cara menentukan pemimpin, sedang orangnya masih yang itu juga — bahkan para pemimpin ikutan/pejabat bawahan ternyata/terbukti kemudian hanya jadi beban pemimpin saja, mereka ibarat janggut yang berurat ke dagu/atasannya dan sama sekali bukanlah abdi rakyat yang membantu pemimpin mengumpulkan bahan-informasi jadi dasar pengambilan kebijakan, yang berusaha menjelaskan latar belakang kebijakan itu diambil, menggambarkan apa kebijakan dan apa langkah serta tindakan dari kebijakan, apa yang hendak dituju, serta dimana posisi rakyat dapat berpartisipasi.
Bahkan, ketika kehidupan berbangsa/bernegara/berpemerintah yang demokratis — termasuk dan apalagi dalam perkembangan merealisasikan otonomi daerah dalam melayani kebutuhan rakyat/dalam melakukan perubahan/dalam mendorong penggalian potensi dan investasi/dalam mengambil prakarsa agar pembangunan lebih aspiratif dan dipercepat (diakselerasi) sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ternyata/terbukti, pejabat bawahan (menteri/pimpinan lembaga setingkat menteri dan atau sekretaris daerah/asisten atau kepala dinas/badan/kantor, misalnya) lebih berpikir bagaimana mereka di mata bos, bukannya membantu bos merealisasikan janji politiknya.

MUNGKIN karena Cucu Magek Dirih seorang agak sedikit paham komunikasi dan public relation (PR), salah satu kondisi terburuk kepemimpinan nasional (pemerintah pusat) dan kepemimpinan daerah (provinsi/kabupaten/kota) adalah pada ketakprofesionalan pejabat bawahan dan ketiadaan integritas/dignitas dan moralitas yang kuat pejabat bawahan — sangat menyedihkan karena para pejabat bawahan tidak merasa ada yang salah atau kekurangan sesuatu apa. Bagaimana mungkin pejabat bawahan dikonotasikan sebagai pejabat teknis: menyusun strategi dan program merealisasikan kebijakan bos (presiden bagi menteri/kepala lembaga setingkat menteri) dan menyusun strategi program sebagai langkah merealisasikan kebijakan bosnya (gubernur/bupati/walikota). Kenapa semua memberatkan bos — mereka bersembunyi di ketiak bosnya!? Bukan pemimpin akan menjadi sasaran langsung/tanpa pelindung!?

Kenapa kehumasan dan ke-PR-an pemerintah pusat (menteri/lembaga setingkat menteri)/pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) begitu buruknya sampai presiden (pemerintah pusat) dan sampai gubernur/ bupati/walikota (untuk pemerintah daerah) — para menteri atau kepala dinas/kantor/badan dan terutama pejabat hubungan masyarakat hanya pandai mengekor saja kemana bosnya pergi!? Bukannya, mampu menjelas-jelaskan apa pemikiran (wawasan dan perspektif) pemimpin, bagaimana jalan pemkiran/proses dilalui sampai satu kebijakan diambil pemimpin, seperti apa gambaran kebijakan itu, dan apa hendak dituju dari pelaksanaan kebijakan — serta bagaimana kebijakan direalisasikan sehingga ada sebagian rakyat terkena atau dapat ikut serta dan apa indikator keberhasilannya sehingga rakyat pun dapat ikut mengawasi dan menilai dengan ukuran yang sama yang digunakan oleh pemimpin!

Wahai pemimpin, janganlah rakyat masih dianggap bodoh — lalu juga membuat kebijakan dengan mengasumsikan rakyat masih bodoh!? Wallahu ‘alam..


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment