Friday 4 November 2011

Yusril: Cara Berpikir Denny Indrayana Kacau

Kebijakan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum ham) menghentikan sementa ra atau moratorium pemberian remisi kepada koruptor dinilai ngawur dan demi pencitraan saja. Selain itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah serta konstitusi yang ada. Penilaian ini disampaikan anggota Komisi III DPR dari Golkar, Nudirman Munir dan bekas Menkumham era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi bertema Moratorium Remisi untuk Koruptor: Legal atau Melanggar Hukum di Ge dung DPR RI, Kamis (3/11).
Nudirman mengatakan, sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM (wamenkumham), Denny Indrayana seharusnya berkoordinasi dengan pihak yang lebih berpengalaman agar tidak melanggar konstitusi dalam memutuskan sebuah kebijakan.
Bahkan dengan nada sinis, dia mengatakan kalau niat Denny Indrayana ini hanya bagus untuk pencitraan agar kelihatan keren dengan melakukan terobosan. Namun rasanya ngawur karena bikin moratorium dan lebih gila lagi undang-undang dilanggar, PP dilanggar atau peraturan lainnya.

“Seharusnya duduk di wakil menteri tanya dulu kepada seniornya agar pencitraan bisa bagus. Tanya dulu kepada orang yang sudah berpengalaman dong,” sindir Nudirman lagi.
Politisi Partai Golkar itu menegaskan, apabila mau menetapkan sebuah kebijakan moratorium remisi kepada koruptor, langkah yang dianggap paling rasional yakni mengubah peraturan yang ada, di antaranya UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
“Kalau mau pencitraan, SK pembebasan diubah saja, atau presiden mengeluarkan perppu, diubah. Misalnya yang lain-lain boleh dapat remisi dan kecuali koruptor atau teroris tidak mendapatkan dan itu agak mendingan. Kalau hanya moratorium kan tidak ada landasannya. Ini sama saja blunder dan kelihatan sangat jorok sekali,” kata Nudirman.
Ketika ditanya sikap keras Golkar terkait moratorium remisi terhadap koruptor berhubungan dengan tidak dikabulkannya permintaan pembebasan bersyarat yang diajukan politisi Golkar Paskah Suzetta, Nudirman menegaskan, lebih baik sebuah kebijakan dilakukan sesuai dengan undang-undang.
“Golkar tidak ada masalah dengan dia, tapi kenapa seakan reaksinya keras sekali kalau menyangkut Golkar. Cuma kalau sebuah kebijakan dilakukan sesuai dengan undang-undang tidak masalah. Kita tidak marah kok dan kalau nanti giliran Golkar yang di sana (kekuasaan) kami juga tidak akan dendam,” kata dia.
Program Gagah-gagahan
Sedang Yusril mengatakan, pemberlakuan moratorium remisi bagi terpidana korupsi dan teroris hanya sebagai program gagah-gagahan Presiden SBY, agar dianggap berani memberantas korupsi. “Hanya untuk gagah-gagahan saja,” katanya.
Karena itu, sambung Yusril, apa yang dilakukan oleh Menkumham dan wakilnya, Amir Syamsuddin dan Deny Indrayana tidak mungkin tidak diketahui oleh Presiden. “Amir dan Deny hanya pion saja. Pura-pura tidak tahu,” tambahnya.
Bahkan Yusril berpendapat, alasan keadilan masyarakat atas kebijakan moratorium remisi untuk koruptor tidak tepat. Menurut dia, harus dibedakan antara proses peradilan dan pemidanaan.
“Semua yang terkait hak-hak narapidana ada pada Pasal 14 UU Pemasyarakatan. Ketentuan lebih lanjut diatur peraturan pemerintah. UU 12/1995 itu sudah ada PP 28/2006 yang terbaru, diatur pelaksanaan khusus terkait hak-hak narapidana. PP itu lebih berat dari sebelumnya, khusus terkait koruptor,” tegas dia.
Dalam kesempatan itu, Yusril juga menekankan bahwa tidak ada kaitan soal hak narapidana dengan pidana yang dilakukan sebelumnya. “Tapi apakah setelah dipidana, orang itu sudah berkelakuan baik atau tidak? Jadi saya nilai cara berpikir Denny Indrayana kacau. Dia tidak bisa memisahkan soal proses peradilan dan pemidanaan,” tandas Yusril.

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment