Sunday 14 August 2011

Jangan jadi Pengalihan Isu

Perseteruan antara Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar, Fachmi dengan pihak keluarga mantan Bupati Dharmasraya, Marlon Martua, membuktikan bahwa upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, butuh nyali besar bagi aparat hukum untuk memberantasnya. Berbagai upaya akan terus dilakukan oleh pihak yang merasa kepentingannya terganggu, dengan cara menghambat penegakan hukum.


Fonomena itulah yang kini dipertontonkan elite-elite negara ini di pusat, yang terkesan hendak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan berbagai cara. Perlawanan dilakukan para tersangka korupsi bersama sejumlah elite-elite yang kenyamanannya terusik oleh KPK.


Pandangan itu disampaikan pengamat hukum dari Universitas Ekasakti (Unes) Padang, Adhi Wibowo, terkait “perlawanan” yang dilakukan sejumlah orang terhadap aparat penegak hukum yang komit memberantas korupsi di Republik ini.


“Jadi, ini yang perlu ditarik benang merahnya, bahwa pengungkapan tindak pidana korupsi tidak sesederhana yang kita bayangkan,” kata Adhi kepada Padang Ekspres kemarin.


Setiap orang yang diduga melakukan korupsi, jelas Adhi, kepolisian, kejaksaan, dan KPK berwenang melakukan penyelidikan, dan hasil penyelidikan itu bisa ditingkatkan ke penyidikan.


“Yang menarik dalam kasus Marlon, kenapa jaksa sebagai penyidik yang dipraperadilankan, sementara tersangkanya masih buron. Artinya, syarat untuk mengajukan praperadilan itu belum terpenuhi,” jelasnya.


Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), praperadilan bisa dimintakan apabila terjadi 3 hal. Pertama, apabila aparat penegak hukum menghentikan penyidikan maupun penuntutan. Kedua, salah tangkap dan salah tahan. Ketiga, permintaan ganti rugi dan rehabilitasi.


“Itulah syarat untuk mengajukan praperadilan. Dalam kasus Marlon, apa yang mau dipraperadilankan pihak keluarga, sementara tersangka belum ditangkap atau ditahan. Jadi syarat pertama gugur,” ujarnya.


Terkait syarat kedua, penyidik pun tidak menghentikan penyidikan maupun penuntutan, karena proses itu belum berjalan. “Jadi untuk syarat kedua juga gugur,” katanya.


“Syarat ketiga, permintaan ganti rugi dan rehabilitasi, tidak mungkin karena proses itu belum berjalan. Nah, jadi ini kesannya mengada-ada,” tambahnya.
Menurut Adhi, kasus ini bisa saja menjadi preseden buruk bagi penyidik maupun penuntut umum dalam melakukan proses penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi. “Setidaknya ini menjadi beban bagi penyidik,” imbuhnya.


Tentang dilaporkannya Kajati Sumbar ke Polda, menurutnya, itu juga harus dikritisi. Jangan sampai itu menjadi pengalihan isu. “Polisi tetap harus menindaklanjuti laporan. Tapi jangan sampai ini dijadikan hot issue, atau berita yang baru untuk mengalihkan substansi kasus dari soal korupsi menjadi soal pencemaran nama baik,” imbaunya.


Karena itu, dia meminta pihak kepolisian bertindak profesional. “Artinya, polisi harus berani menindaklanjuti laporan itu jika memang terbukti. Tapi, polisi juga harus berani menghentikan laporan itu, jika tidak terbukti. Kita bisa ambil hikmah dari ini semua. Bahwa penegakan hukum di bidang korupsi ini tidak sesederhana yang kita bayangkan. Untuk itu, aparat penegak hukum dituntut teliti, cermat dan tidak tergesa-gesa dalam menangani kasus korupsi,” tukasnya.


Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Elwi Danil, menolak menanggapi permasalahan yang terjadi antara keluarga Marlon dan Kajati Sumbar terutama menyangkut praperadilan yang dilakukan pihak keluarga Marlon.


“Jika saya berpendapat hari ini, nanti itu akan berpengaruh bagi hakim yang nanti memproses perkara itu. Sebaiknya saya tidak usah berkomentar soal praperadilan itu,” elaknya.


Dia menegaskan, upaya praperadilan boleh saja ditempuh oleh siapa pun. Praperadilan merupakan hak setiap orang untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, serta untuk pemberian ganti rugi dan rehabilitasi, yang semuanya itu diatur dalam Pasal 77 KUHAP.


“Tapi, apakah praperadilan yang diajukan itu memiliki landasan yang kuat atau tidak, tergantung hasil pengujian di pengadilan,” ujarnya.
Soal laporan keluarga Marlon ke Polda, katanya, harus dipahami bahwa sebagai pejabat publik, Kajati berkewajiban memberikan informasi ke masyarakat tentang perkembangan sebuah kasus.

Menurutnya, apa yang dilakukan Kajati tidak ada unsur pencemaran nama baik. Sebab, jelas Elwi, ketika wartawan bertanya tentang perkembangan sebuah kasus pada Kajati, adalah kewajiban Kajati memberitahukannya kepada wartawan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. “Bahkan, itu kewajiban Kajati dan hak bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi,” ungkapnya.


Kalaupun kebenaran kenyataan Kajati Sumbar diragukan, kata Elwi, nanti akan diungkap dalam proses pemeriksaan Marlon oleh penyidik. “Nah, kalau dalam pemeriksaan itu ternyata pernyataan Kajati yang salah, itu baru pencemaran nama baik. Tapi, itu masih bisa diperdebatkan, karena apa yang dilakukan Kajati adalah dalam rangka melaksanakan tugas,” jelas Elwi.


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment