Wednesday 17 August 2011

ADO URANG SOK ''BAGAK'' DI DPRD PADANG


Hari Mahesa, anggota DPRD Padang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendadak populer. Semua koran harian di Sumbar memberitakan anggota dewan berusia muda ini. Beberapa televisi swasta nasional juga tak ketinggalan menyiarkan perihal dirinya. Hanya, kepopuleran dia bukan membuat kita, warga Padang atau Sumbar umumnya berbangga. Sebaliknya, kita justru dibuat malu oleh perilaku Esa—begitu panggilan Maidestal Hari Mahesa—yang tidak mencerminkan sikap sebagai wakil rakyat terhormat.

Senin (15/8), sekitar pukul 14.00 WIB, Esa mengamuk ala preman jalanan di kantornya. Dia mencak-mencak, lalu menghantam meja, dan menendang pintu kaca ruang Sekretariat DPRD Padang. Meja dan pintu itu pun hancur berantakan. Kejadian ini disaksikan langsung oleh Sekretaris DPRD, Sastri Y Bakrie. Sejumlah anggota dewan, dan wartawan juga ikut melihat perilaku Esa yang memalukan tersebut.

Buah yang memicu tindakan merusak oleh Esa tersebut adalah kebijakan ”tali asih”. Semua anggota DPRD dikenakan pemotongan sebesar Rp100 ribu. Dana itu diambil dari uang perjalanan dinas masing-masing anggota dewan yang totalnya sekitar Rp6 juta. Menurut Sastri, yang juga dibenarkan oleh Ketua DPRD Padang Zulherman, kebijakan itu sudah merupakan kesepakatan, melalui mekanisme pengambilan keputusan di DPRD.

Dana yang terkumpul dari pemotongan perjalanan dinas yang disebut ”tali asih” itu, akan dibagikan kepada relasi DPRD, khususnya wartawan yang berposko atau sering meliput kegiatan di DPRD Padang. Dewan menilai wartawan yang berposko di DPRD telah banyak membantu menyosialisasikan kegiatan di DPRD.

Namun menurut Esa, dia tidak tahu-menahu dengan kebijakan ”tali asih” tersebut. Oleh karena itu, ketika uang perjalanan dinasnya dipotong Rp100 ribu, dia menuding Sastri yang bertugas mengumpulkan dana ”tali asih” telah melakukan pungutan liar atau pungli. Esa memprotes ke Sastri. Tindakan Esa tentu salah alamat. Sebab Sastri hanya menjalankan tugas memfasilitasi kebijakan DPRD. Namun reaksi Esa sungguh sangat berlebihan. Dia merusak fasilitas di gedung DPRD, sambil menantang untuk mempersilakan Sastri melapor ke polisi.

Sastri mestinya tak perlu takut menyambut ”tantangan” itu, melaporkan Esa ke polisi, dengan tuduhan telah merusak aset daerah di kantor DPRD Padang. Walaupun Esa adalah anggota DPRD yang mesti difasilitasi sekretariat yang dibawahkan Sastri, bukan berarti Sastri mesti membenarkan dengan membiarkan tindakan salah yang dilakukan Esa. Justru kalau mendiamkan, Sastri bisa dipersalahkan.

Apapun persoalannya, tidak semestinya anggota DPRD beperilaku seperti preman jalanan: main hantam dan main tendang. Apalagi, kebijakan yang diambil pimpinan DPRD tak menyalahi aturan. Sebab, dana yang dipotong adalah dana masing-masing anggota DPRD. Jadi yang dibutuhkan hanya kesukarelaan dewan. Kalaupun ada yang tak setuju, semestinya boleh saja, karena tak ada sanksi. Namanya juga sumbangan!

Yang mungkin agak kurang pas, bisa jadi karena dana itu untuk wartawan. Sebab wartawan tak boleh menerima imbalan berbentuk apapun dari narasumber. Lagi pula, kalau wartawan yang benar-benar wartawan—terlepas ada masalah atau tidak—sudah pasti akan menolak uang sumbangan anggota dewan ini. Tapi ini juga bukan alasan untuk bertindak anarkistis menolak kebijakan tersebut.

Hal yang sangat memprihantinkan lagi, tindakan itu dilakukan Esa pada bulan Ramadhan, disaat semua kita mesti menahan atau mengendalikan hawa nafsu. Dan, tentunya yang tidak bisa kita tolerir, tindakan itu dilakukan oleh orang yang berpredikat anggota dewan terhormat. Dia mestinya memberi contoh, bagaimana bersikap terhormat ketika menghadapi dan menyelesaikan sebuah persoalan. Hati boleh panas, tapi kepala tetap dingin! Bagaimana pula bisa berharap masyarakat biasa bertindak baik, sementara orang terhormat saja bertindak tak lebih dari preman jalanan.

Sejatinya tak ada keraguan polisi memproses anggota dewan yang jelas-jelas berperilaku merusak tersebut. Polisi mesti memastikan, bahwa tak ada seorang pun yang kebal hukum. Termasuk anggota DPRD tentunya. Rasanya polisi tak perlu butuh waktu lama untuk membawa Esa mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Semua bukti untuk memenuhi pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengrusakan sudah terpapar. Saksi-saksi pun cukup banyak. Paling yang dibutuhkan polisi hanya kemauan, dan sedikit keberanian. Kita berharap, polisi bertindak semestinya.

Selain itu, tindakan Esa ini juga perlu menjadi perhatian partai yang menaunginya, yakni PPP. Secara tidak langsung tindakan kadernya tersebut telah ikut mempermalukan PPP. Sebagai partai yang menjunjung tinggi penegakan hukum, PPP tidak perlu membela. Sebaliknya, PPP mesti memberi sanksi pada kader yang melanggar hukum. Begitu juga DPRD, tak perlu menghabiskan energi ”menegakkan benang basah”. DPRD sebagai lembaga terhormat harus memberi pelajaran bagi anggota yang telah bertindak tak terhormat, dan mempermalukan lembaga.

Bagi masyarakat, tindakan wakil rakyat yang satu ini layak dicatat. Gunanya, agar jangan salah pilih lagi pada pemilu mendatang. Apa mau aspirasi kita diperjuangkan oleh orang yang beperilaku preman? Boro-boro dia akan memperjuangkan rakyat, atau ”berkelahi” untuk kepentingan rakyat. Justru dia akan melakukan apa saja, termasuk anarkistis, bila menyangkut kepentingan dia. SUMBER : http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=811


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment