Saturday 21 August 2010

Korupsi Kok Diberi Grasi




SALAH
satu penyakit sosial yang menjangkiti dan merusak bangsa ini adalah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu ketika kita melakukan reformasi, hal pertama yang dilakukan adalah memerangi praktik KKN.

Seluruh upaya kita lakukan untuk membuat negeri ini bersih dari praktik KKN. Kita bukan hanya mencoba memperbaiki sistem yang menyebabkan mengakarnya praktik KKN, tetapi membentuk lembaga khusus yang bisa menghukum para pelaku korupsi agar menciptakan efek penjeraan.

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga khusus yang kita bentuk untuk memerangi korupsi. Segala langkah yang diperlukan untuk membuat lembaga itu benar-benar bergigi kita berikan. Semua itu dengan sadar kita lakukan karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Harapan kita begitu tinggi ketika KPK kemudian terbentuk. Apalagi kemudian kasus-kasus besar yang selama ini seperti tidak tersentuh, bisa ditembus oleh KPK. Untuk menopang kerja KPK, kita membentuk pengadilan khusus korupsi dan bahkan awalnya dengan menunjuk hakim-hakim adhoc-nya yang bekerja atas sebuah idealisme.

Kerja luar biasa yang dilakukan KPK membuat orang angkat topi. Indeks pemberantasan korupsi sempat membaik karena memang kita keras untuk menghukum para pelaku korupsi.

Seperti biasa kelemahan kita adalah konsistensi. Langkah besar yang dilakukan KPK ternyata tidak terus didukung. Ketika KPK tegas untuk menegakkan hukum dan akhirnya mengena pada para pemegang kekuasaan, ada upaya untuk melemahkan keberadaan KPK.

Kita prihatin ketika terjadi upaya kriminalisasi kepada pimpinan KPK. Apa yang dialami Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah merupakan contoh nyata upaya sistematis untuk memerlemahkan keberadaan lembaga pemberantas korupsi itu.

Pelemahan KPK membuat praktik korupsi yang sempat meredup kini mulai menjadi lagi. Laporan yang disampaikan Indonesia Corruption Watch pantas membuat kita prihatin karena angka korupsi kini meningkat kembali.

Sikap permisif dari pemerintah membuat korupsi seakan mendapat angin. Bagaimana tidak untuk sebuah kejahatan yang luar biasa, pemerintah ternyata memerlakukan sama dengan kejahatan biasa. Para pelaku korupsi bukan hanya tidak ditahan di lembaga pemasyarakatan khusus, tetapi bisa mendapatkan keringanan dari pemerintah.

Bukan hanya remisi kepada koruptor yang membuat kita kaget, tetapi kemarin Presiden memberikan grasi kepada koruptor. Mantan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani HS diberikan grasi oleh Presiden dengan alasan kemanusiaan.

Kita memang menempatkan kemanusiaan sebagai sesuatu yang tinggi. Sila kedua Pancasila mengajarkan kita untuk menempatkan "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Namun di mana hal itu harus diterapkan? Apakah terhadap para pelaku korupsi kita bisa menerapkan prinsip tersebut?

Ketika seorang koruptor tanpa hati mengambil hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri, apakah mereka memiliki perikemanusiaan? Tidakkah kita bayangkan bahwa apa yang para koruptor lakukan itu adalah mengambil hak orang lain dan akibat tindakannya itu negara bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi rusak secara moral?

Pada pengalaman banyak negara, karena daya rusak yang luar biasa dari korupsi, maka mereka menerapkan hukuman maksimal kepada para koruptor. Di China, seorang pejabat negara yang terbukti melakukan korupsi bahkan sampai dihukum mati. Mengapa? Karena korupsi adalah kejahatan luar biasa. Hukuman maksimal harus diberikan agar memberikan efek jera.

Sikap permisif pemerintah dalam menangani koruptor pasti akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi pemberantasan korupsi. Pemberian remisi apalagi grasi merupakan kemunduran bagi pemberantasan korupsi di tanah air. Bahkan tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh memberantas korupsi.

Inilah yang harus digugat. Rakyat harus mempertanyakan kebijakan pemerintah untuk memberikan remisi dan bahkan grasi kepada para koruptor. Jangan sampai langkah ini justru menjadi ladang korupsi baru.

Celakalah negeri ini kalau itu sampai terjadi. Reformasi yang susah payah kita lakukan ternyata malah membuat korupsi semakin marak. Sungguh ironis!

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment