Lembaga penelitian dan riset ilmiah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam surveinya menemukan bahwa kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merosot tajam. Menurut mereka hasil ini adalah salah satu potret kekecewaan masyarakat terhadap kinerja lembaga anti korupsi itu.
"Hanya 41,6 persen responden yang yakin KPK dapat tuntaskan kasus korupsi tanpa pandang bulu meski melibatkan tokoh atau partai berkuasa. Angka ini menunjukkan cukup minoritas kepercayaan publik terhadap KPK," ujar Adjie Alfaraby, peneliti LSI di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu 7 Agustus 2011.
Survei ini sendiri dilakukan dengan menggunakan dua metode penelitian sekaligus. Pertama adalah riset kuantitatif, diawali pengumpulan data pada Juni 2011 dengan menunggunakan metode riset kuantitatif (survei), terdiri dari metode multistage random sampling, dengan melakukan wawancara tatap muka dengan kuesioner kepada 1.200 responden dan margin of error sebesar 2,9 persen. Kedua, metode riset kualitatif yaitu wawancara mendalam, dan media analis sejak bulan Juli dan Agustus 2011.
Berdasarkan itu, LSI juga menemukan bahwa responden yang puas atas penanganan KPK terhadap kasus korupsi Menpora saat ini hanya 29,7 persen. Secara umum, mereka mencatat, turunnya kepercayaan ini adalah karena KPK lemah dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan kekuasaan.
"Untuk kasus umum, KPK dipercaya tetap bekerja sesuai tugas. Hanya jika kasus itu menyangkut tokoh atau partai berkuasa, KPK diragukan integritasnya," katanya.
Adjie menjelaskan hasil ini berbeda jauh dengan survei pada tahun 2005 ketika publik masih menaruh harapan pada KPK. Dalam waktu enam tahun, harapan itu terus mengalami penurunan.
"Tahun 2005 kepercayaan publik terhadap KPK diangka 58,3 persen. Dibanding tahun 2005, kepercayaan terhadap KPK merosot sekitar 17 persen," katanya.
Dari survei tersebut, didapatkan empat alasan kenapa kemerosotan KPK itu terjadi. Pertama, adanya penurunan keberanian oleh KPK dalam penanganan korupsi khususnya yang berhubungan dengan penguasa.
Kedua, pimpinan KPK dipandang sudah tersub-ordinasi oleh kekuasaan. "Contohnya adalah kasus Century, sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya. Ada persepsi publik kasus Century bukan hanya soal bailout tapi ada agenda terselubung dari kasus itu," kata Adjie.
Ketiga, KPK diliputi mafia hukum. Publik meyakini ada mafia hukum dalam tubuh KPK itu sendiri. "Kasus Miranda Goeltom, Orang yang menerima suap sudah ditangkap, yang memberi tidak," ujarnya.
Keempat adalah pimpinan KPK main mata dengan kelompok tertentu. Penanganan korupsi masih tebang pilih. "Aktor-aktor yang kuat, dibalik kasus ini sampai sekarang belum diusut tuntas. Tapi yang kecil diusut," kata Adjie.
No comments:
Post a Comment