Sunday 7 August 2011

Tahun Ini Negara Habiskan 9,9 Miliar Untuk 9 Parpol


Parpol yang lolos parliamentary thereshold mendapatkan dana bantuan dari pemerintah melalui APBN. Setiap tahunnya anggaran tersebut mengalami kenaikan.

Pemberian bantuan keuangan partai politik itu diatur UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Po­litik juga Peraturan Pe­merintah Nomor 5 tahun 2009 ten­tang Bantuan Keuangan ke­pada Partai Politik.

Dalam dua ketentuan tersebut memang diatur setiap parpol pe­menang pemilu menerima dana yang bersumber dari APBN, yang dihitung berdasarkan jum­lah kur­si anggota DPR dan jum­lah sua­ra yang diperoleh pada pemilu.

Berdasarkan hasil kajian Forum Indonesia untuk Transpa­ransi Anggaran (FITRA) terha­dap Keppres No 26 Tahun 2010 Ten­tang Rincian Anggaran Be­lan­ja Pemerintah Pusat Tahun 2011, anggaran setiap tahunnya ban­tuan anggaran untuk parpol selalu mengalami kenaikan.

Pada tahun anggaran 2011, pe­merintah memberikan bantuan ke­uangan untuk partai politik se­besar Rp 9,9 miliar. Pada tahun ang­garan 2012, naik menjadi Rp 10,4 miliar. Terakhir, pada tahun ang­garan 2013 naik lagi menjadi Rp 10,9 miliar.

FITRA menuding parpol yang mendapat bantuan anggaran itu ti­dak transparan. Lembaga Swa­da­ya Masyarakat ini pernah pu­nya pengalaman saat meminta do­kumen anggaran 9 partai poli­tik pemenang pemilu, dan semua menolak permintaaan.

Dari 9 parpol yang dimintai in­formasi keuangan periode 2010 da­lam Uji Akses Permintaan In­formasi hanya dua parpol yang merespons, yaitu Partai Keadilan Se­jahtera (PKS), dan Gerindra.

“Tujuh parpol lainnya hanya diam dan tidak memberikan res­pons permintaan informasi, mes­kipun sudah disampaikan kebe­ratan permintaan informasi,” kata tuding Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Uchok Khadafi ke­pada Rakyat Merdeka, di Ja­kar­ta, Jumat lalu.

Diungkapkan, karena tidak men­dapatkan respons, pihaknya mengajukan penyelesaian seng­keta informasi tersebut ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan ter­mohon parpol yang tidak meres­pons permintaan.

Namun, dari lima kali mediasi dengan parpol yang telah dilak­sanakan, hanya satu parpol yang hadir pada mediasi pertama dan bersedia memberikan informasi, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

“Sementara enam parpol lain­nya kembali tidak hadir pada un­dangan pertama yang disam­pai­kan KIP, sehingga diputuskan un­tuk melaksanakan mediasi ke­dua,” bebernya.

Pada mediasi kedua, dua parpol yang hadir, yakni Golkar dan PDI Perjuangan, dan pada akhirnya ke­dua partai tersebut akhirnya ber­sepakat untuk menyampaikan informasi yang diminta setelah se­lesai diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sementara itu, Partai Amanat Nasional (PAN) juga masih tidak ha­dir sehingga dilaksanakan me­diasi ketiga. Pada mediasi yang ketiga pun PAN masih tidak ha­dir, sehingga akhirnya proses me­diasi dengan partai itu gagal. Se­dangkan Partai Demokrat masih dalam proses mediasi kedua.

“Dengan demikian, sudah jelas ada kesan parpol tidak mau di­awasi publik padahal keuangan me­reka diperoleh dari APBN. Pa­dahal penyusunan laporan keua­ngan mereka sangat amburadul sehingga untuk partai politik di daerah laporan keuangan tidak bisa dipertanggungjawaban,” tu­tur­nya.

Uchok menuding perolehan bantuan anggaran itu buah dari kongkalikong. Hal ini terjadi ka­re­na adanya kesepakatan antara ek­sekutif dengan anggota legis­latif.

Uchok mengungkapkan, ada­nya bantuan kepada parpol ini membuka potensi penyimpangan dalam alokasi anggaran bantuan parpol tidak terhindari.

Dikayakan Uchok, dalam audit BPK tahun 2010, FITRA mene­mu­­kan 31 daerah telah mela­ku­kan penyimpangan anggaran yang diberikan dari APBD untuk bantuan kepada partai politik.

Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut seperti parpol belum me­menuhi persyaratan adminstarasi, tetapi bantuan keuangan dari APBD sudah diberikan, dan ada ju­ga bantuan keuangan dari APBD sudah diberikan, tetapi belum ada laporan pertang­gung­jawabannya dari partai politik ter­sebut. FITRA menduga akibat ma­­­salah ini negara telah diru­gi­kan Rp 21,6 miliar.

“Kalau pengelolaannya tidak jelas FITRA meminta agar dana parpol harus dihapuskan dari alokasi APBN dan APBD. Ada­nya alokasi anggaran dari APBN dan APBD tidak menjamin bersih dari potensi penyalah­gu­naan ke­uangan negara,” te­ga­snya.

Agar permasalahan ini terus terjadi, pemerintah sebaiknya memberikan perhatian serius. Se­tiap badan publik harus me­la­kukan pelayanan informasi pu­blik dengan cepat tanpa menu­ng­gu ­proses keberatan, ataupun pro­ses mediasi di suatu lembaga, serta tidak membedakan siapa yang meminta informasi.

“Partai politik sebagai badan publik harus konsisten melak­sa­nakan Undang-Undang KIP agar parpol menjadi lembaga publik yang akuntabel dan transparan da­lam pengelolaan anggaran­nya,” tukasnya.

Petinggi Parpol Rame-rame Bantah Keuangannya Tertutup

Para petinggi partai politik mem­bantah keras kalau ke­ua­ngan­nya tidak transparan kepada publik. Alasannya, setiap tahunya diaudit Badan Pemeriksa Ke­ua­ngan (BPK).

“Partai Demokrat mengikuti dan mematuhi semua meka­nis­me, aturan undang-undang yang berlaku tanpa terkecuali. Itu yang selama ini terjadi,” kata Wasekjen Partai Demokrat Ramadhan Po­han kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.

Anggota Komisi II DPR ini men­dukung tuntutan FITRA agar la­po­ran keuangan parpol harus trans­paran, dan akuntabel. “Tak ad yang salah dalam tuntutan itu,” ujarnya.

Ketua Bidang Usaha Kecil Me­nengah dan Koperasi Dewan Pin­pinan Pusat Partai Golkar, Firman Soebagyo membantah partainya ti­dak transparan dalam hal lapo­ran keuangan. Pemberian infor­masi dana bantuan parpol itu su­dah ada dalam AD/ART partai­nya.

Wakil Ketua Komisi IV DPR ini mengungkapkan, dana ban­tuan partai itu berasal dari bebe­ra­pa sumber, seperti iuran ang­got­a, sumbangan dari masyarakat yang bersifat tida mengikat, dan dana bantuan dari pemerintah.

Setiap tahunnya laporan ke­uangan Golkar, termasuk dana ban­tuan tersebut, diaudit BPK se­bagai bentuk pertanggung­jawa­ban partai kepada publik.

“Bahkan pas mau pemilu itu juga diaudit, dan semua hasil au­dit itu dilaporkan kepada peme­rintah. Kalau LSM itu siapa, kami tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kepada me­reka. Laporan keuangan itu kan urusan internal partai,” tegasnya.

Anggota DPR dari daerah pe­mi­lihan Jawa Tengah III ini me­nyatakan, dana bantuan dari pe­merintah dibutuhkan parpol un­tuk menjalankan roda organisasi.

Hal itu tidak bisa dihindari meng­ingat parpol adalah bagian dari sistem politik, yang turut andil menggerakan pemerin­ta­han. Sebab parpol menjadi bagian dari eksekutif, dan legislatif.

“Sebagai perserta pemilu misal­nya. Kalau tidak ada dana, bagaimana kita turut andil. Padahal kita tidak diperbolehkan untuk memiliki badan usaha sendiri untuk menggalang dana,” tuturnya.

Ketua Fraksi Partai Kebang­ki­tan Bangsa, Marwan Jafar me­nuding balik FITRA sebagai LSM yang tidak kredibel, karena dalam pengamatannya selama ini banyak data dari FITRA yang ke­liru. “Jadi bukan data sung­gu­han. Data dan analisa mereka se­ring­kali ngawur, hanya untuk cari sen­sasi di media massa,” ujarnya.

Anggota Badan Musyawarah DPR ini menegaskan, partainya tidak pernah bermaksud memper­sulit ataupun melarang permin­taan informasi tersebut. Partainya harus berhati-hati dalam mem­berikan informasi, apalagi yang menyangkut soal dana.

“Tidak ada yang keberatan. Masalahnya kewenangan mereka itu apa? mereka itu siapa? Kita kha­watir data-data dari parpol di­sa­lahgunakan untuk kepen­tingan lain,” sesalnya.

Di Jerman, Parpol Dibiayai 100 Persen

Abdul Hakim Naja, Wakil Ketua Komisi II DPR

Wakil Ketua Komisi II DPR Ab­dul Hakim Naja menjamin, kalau laporan keuangan parpol itu transparan. Pasalnya, setiap ta­hun parpol diwajibkan untuk memberikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK), dan auditor inde­pen­den. “Saya rasa tidak ada yang ditutupi. Silakan saja me­min­ta laporannya ke BPK,” kata­nya, belum lama ini.

Anggota Fraksi PAN ini tidak se­tuju, apabila dana bantuan par­pol ditiadakan. Sebab, dana ter­sebut dibutuhkan, untuk menja­ga keberlangsungan hidup par­pol.

“Kalau tidak ada dana terse­but, pendanaan parpol dari ma­na. Itu pun dana yang dibe­ri­kan me­nurut saya juga masih ku­rang. Di Jerman saja, parpol itu 100 per­sen dibiayai pemerin­tah,” ujar­nya.

Menurutnya, dana bantuan di­be­rikan hanya kepada parpol yang lolos ke Pemilu sesuai de­ngan besar kecilnya suara parpol yang bersangkutan sebagai ben­tuk apresiasi kepada parpol yang ada di parlemen.

“Kalau tidak salah dananya itu per 1000 suara. Itu pun kalau di­to­tal dananya kecil. Akibat­nya, ke­kurangannya diambil da­ri iu­ran anggota,” ucapnya.

Anggota DPR dari daerah pe­mi­lihan Jawa Tengah X ini me­ng­­ungkapkan, perdebatan me­nge­nai dana bantuan parpol ini sebetulnya sudah berlangsung se­­j­ak lama. Sebelum dibuatnya pe­­raturan mengenai dana ban­tuan parpol, sempat ada wacana un­tuk membolehkan partai me­miliki badan usaha.

“Tapi khawatirkan akan ter­jadi conflict of interest. Nanti par­­pol akan berlomba-lomba un­­tuk mencari proyek, dengan me­manfaatkan posisi kadernya di parlemen, akhirnya dibatal­kan,” terangnya.

Naja menambahkan, saat ini memang sedang diusahakan ba­gaimana supaya parpol bisa men­jalankan roda organisasi de­ngan baik, dan tetap fokus ke bi­dang politik. Salah satu caranya, dengan mengurangi parpol di par­lemen secara bertahap, se­per­ti melaui kenaikan Parlie­men­­tary Thereshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 3 persen. Tu­juannya su­paya anggaran untuk masing-ma­sing parpol bisa di­tingkatkan, na­mun dengan tidak membebani ke­uangan negara.

“Selain itu diharapkan cara ini ju­ga bisa meningkatkan rasa ke­sadaran masyarakat terhadap pa­rpol, sehingga nantinya par­pol ju­ga akan didanai secara lang­sung oleh masyarakat,” tu­turnya.

Pake Duit Hasil Korupsi Sebaiknya Dibubarkan

Adhie Massardi, Koordinator GIB

Koordinator Gerakan In­do­nesia Bersih (GIB) Adhie Massardi mengusulkan, untuk menjaga kebersihan keuangan par­pol, bagi yang terbukti mem­biayai dirinya dari uang korupsi sebaiknya dibubarkan. ’’Pem­bu­baran parpol karena uang ko­rup­si ini sebagai pembelajaran ke depan,’’ katanya, belum lama ini.

Adhie menyatakan, setiap ta­hun peluang korupsi APBN un­tuk Parpol selalu terbuka lebar. Pada pasal 8 UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara Menteri Keuangan adalah pelak­sana kuasa Presiden dalam hal keuangan negara. Wewe­nang ini me­liputi perencanaan, pe­neri­ma­an, pembelanjaan, dan pe­me­riksaan.

“Wewenang yang bertumpuk-tumpuk dan terpusat di satu ta­ngan ini membuat peluang terja­dinya korupsi APBN untuk Par­pol sangat besar,” paparnya.

Oleh karena itu, lanjut Adhie, pihaknya tengah menyiapkan ma­teri judicial review ke Mah­ka­mah Konstitusi terkait pem­bubaran parpol. Parpol bisa di­bu­barkan bila ideologi, asas, tu­juan, program, dan kegia­tan­nya dianggap bertentangan de­ngan UUD 1945.


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment