Friday 8 April 2011

DPR tak Punya `Sense of Crisis`


PASTI kebanyakan kita akan bereaksi keberatan kalau dikatakan kita sedang menghadapi situasi krisis. Dengan ekonomi yang bergerak begitu positif, rating lembaga internasional yang semakin membaik, jauhlah kita dari situasi krisis.

Namun melihat perekonomian Portugal yang terpuruk dan memerlukan penyelamatan keuangan dari Dana Moneter Internasional, kita tidak bisa menganggap enteng keadaan. Apabila krisis keuangan Portugal menular ke Spanyol, maka skenario krisis global yang berawal dari Eropa menjadi terbukti.

Sejak krisis keuangan meruntuhkan perekonomian Yunani sudah diperkirakan bahwa krisis itu akan mengimbas ke negara lain. Bank Sentral Eropa memang sudah berupaya untuk mencegah jangan sampai krisis itu mengimbas ke negara lain. Namun dengan besaran krisis yang dihadapi, hanya tinggal persoalan waktu saja krisis yang lebih besar akan terjadi.

Dugaan itu terbukti sekarang. Portugal sudah meminta Dana Moneter Internasional untuk menyelamatkan sistem keuangan Portugal. Yang dikhawatirkan banyak pihak kalau sampai Spanyol yang meminta bantuan IMF, karena ukuran ekonomi negeri jauh lebih besar dari Yunani maupun Portugal.

Satu lagi ancaman krisis yang bisa terjadi di depan adalah konflik yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika. Situasi perang yang terjadi di Libya dan Pantai Gading memunculkan kekhawatiran ketidakstabilan politik yang panjang. Akibatnya, kita lihat dari semakin naiknya harga minyak mentah dunia.

Sekarang ini harga minyak dunia telah mencapai 120 dollar AS per barrel. Kalau konflik di Timur Tengah tidak segera mereda maka diperkirakan dalam waktu tidak terlalu lama harga minyak akan mencapai 150 dollar AS per barrel.

Sejauh mana situasi global ini kita antisipasi? Apa dampaknya harga minyak dunia yang semakin melambung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara? Terus terang kita mengkhawatirkan semua persoalan ini dianggap kecil. Kita tidak mempersiapkan skenario terburuk yang akan terjadi.

Mengapa kita sampai mengatakan seperti itu? Karena kita tidak melihat adanya sense of crisis terutama di kalangan elite bangsa ini. Seperti anggota DPR tidak melihat sama sekali adanya ancaman besar yang bisa mengganggu perekonomian kita yang sedang menggeliat ini. Semua dianggap berjalan biasa saja.

Tidak usah heran apabila rapat konsultasi pimpinan DPR memutuskan untuk melanjutkan pembangunan Gedung DPR baru senilai Rp 1,1 triliun. Padahal Presiden hanya beberapa saat sebelumnya meminta semua kementerian dan lembaga negara untuk menghemat penggunaan anggaran. Kementerian bahkan diminta memotong anggarannya 10 persen.

Kita harus menggunakan anggaran dengan lebih efisien. Anggaran yang ada lebih baik difokuskan untuk dipakai untuk kegiatan yang lebih produktif dan memberikan nilai pengganda (multiplier effect). Pembangunan infrastruktur akan lebih bermanfaat bagi percepatan perputaran ekonomi daripada pembangunan Gedung DPR.

Kalau elite politik seperti anggota DPR sampai tidak tahu mana yang lebih harus diprioritaskan, maka bahayalah memang negeri ini. Ketiadaan "sense of crisis" dari elite politik akan membawa negeri ini terjerumus dalam situasi serba krisis.

Bisa dibayangkan apabila anggota DPR lebih mementingkan pembangunan gedung baru daripada pembangunan infrastruktur, maka jangan heran apabila kemudian anggota DPRD akan meminta fasilitas yang sama. APBN yang harus dipakai untuk menutupi subsidi karena kenaikan harga minyak dunia, akan semakin habis untuk memenuhi keinginan anggota parlemen. Akibatnya, anggaran pembangunan yang hanya tinggal Rp 100 triliun akan semakin tergerus lagi.

Kalau anggaran pembangunan habis hanya dipakai membangun gedung-gedung baru parlemen, anggota DPR memang akan duduk enak di kantor barunya, tetapi rakyat akan merasakan jalan-jalan yang semakin hancur. Perekonomian negeri ini akan terganggu apabila infrastrukturnya rusak parah.

Apa yang diperlihatkan anggota DPR dengan ngotot membangun gedung barunya, membuat rakyat semakin bingung. Apalagi ketika yang begitu ngotot adalah Ketua DPR Marzuki Alie yang seharusnya menopang kebijakan Presiden karena sama-sama berasal dari Partai Demokrat.

Langkah DPR yang dimotori Partai Demokrat tanpa disadari akan semakin menggerogoti legitimasi Presiden. Seakan-akan permintaan Presiden di Istana Negara dianggap sebagai angin lalu. Padahal Presiden ketika mengimbau lembaga negara untuk berhemat bukan memposisikan diri sebagai kepala pemerintahan, tetapi kepala negara yang harus perhatian kepada kelangsungan negeri ini.

Sepanjang anggota DPR tidak pernah mempedulikan persoalan ini, maka sebenarnya mereka tidak mendukung pematangan demokrasi di negeri. Karena keasyikan pada dirinya sendiri, anggota DPR sedang bermain api untuk membawa negeri ini terjerumus dalam situasi krisis.

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment