Wednesday, 9 October 2013

Malala dan Ancaman Mati Taliban

Taliban bersumpah akan terus memburu Malala sampai gadis ini terbunuh.

  Malala Yousafzai memang berhasil selamat dari maut, setelah beberapa kali menjalani operasi tengkorak. Namun gadis 16 tahun ini belum bisa santai. Kepalanya masih masuk dalam bidikan moncong laras panjang Taliban.

Taliban bersumpah akan terus memburu Malala sampai gadis ini terbunuh. Menurut Taliban, Malala masih menjadi ancaman bagi penerapan syariah Islam versi mereka di wilayah Lembah Swat, Pakistan.
Hal ini dengan tegas disampaikan oleh Juru Bicara Taliban Pakistan, Shahidullah Shahid, kepada Telegraph. Shahid mengatakan, mereka akan kembali menyerang Malala jika ada kesempatan.
"Kami tidak menentang Malala, tapi kami menentang ideologinya," kata Shahid, saat diwawancara melalui telepon.
"Siapapun yang berkampanye melawan agama dan mengkritik Islam, seperti yang dia lakukan dengan ideologi sekulernya, adalah musuh kami dan kami akan mengincarnya lagi dan lagi," ujarnya menambahkan.

Suara Taliban keluar setelah nama Malala semakin berkibar. Gadis yang tinggal di Lembah Swat ini menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan kaum wanita, terutama soal kebebasan menempuh pendidikan.

Bahkan, dia digadang menjadi nominator penerima Penghargaan Nobel Perdamaian. Jika namanya keluar Jumat depan, dara kelahiran tahun 1997 ini akan menjadi orang termuda sepanjang sejarah Nobel.

Oleh majalah TIME, dia juga didaulat untuk menjadi salah satu orang paling berpengaruh di muka bumi.

Dalam setahun terakhir, kehidupan Malala berubah dari seorang siswi biasa menjadi sorotan internasional. Semua itu setelah serangan Taliban di satu hari nahas, 9 Oktober 2012, Lembah Swat. Taliban gagal membunuhnya, malah membuatnya semakin terkenal.

Setahun lalu, Malala bersama teman-temannya berada dalam bus sekolah saat mereka tiba-tiba disergap orang-orang bertopeng dan bersenjata. Malala ditembak tepat di kepalanya. Peluru tembus melalui kepalanya ke leher, dan bersarang di bahunya. Dua orang kawannya juga jadi korban, namun berhasil selamat.

Ehsanullah Ehsan, juru bicara Taliban Pakistan mengaku bertanggung jawab atas penyerangan tersebut. Upaya pembunuhan ini menuai kecaman dari seluruh dunia. Berbagai demonstrasi digelar di Pakistan. Pemerintahan Presiden Asif Ali Zardari menawarkan hadiah 10 juta rupee untuk informasi pelaku penembakan.

Kelompok pemuka agama yang terdiri dari 50 ulama mengeluarkan fatwa yang menentang tindakan Taliban. Ulama dari Dewan Ijtihad Sunnah ini menyerukan Taliban untuk tidak menjadikan Islam sebagai pembenaran tindakan kejam mereka itu. Karena Islam tidak pernah mengajarkan untuk berbuat brutal.

Malala sempat menjalani tiga jam operasi di rumah sakit militer di Peshawar, dokter berhasil mengangkat pelurunya. Dokter di Pakistan juga mengangkat sebagian tengkoraknya untuk memberikan ruang bagi otaknya yang membengkak. Peluang hidupnya 70 persen.
Banyak negara yang menawarkan untuk merawatnya, di antaranya Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Akhirnya, keluarga Malala memilih untuk merawatnya di Inggris, tepatnya di Rumah Sakit Queen Elizabeth di Birmingham, yang terkenal akan perawatannya terhadap tentara yang terluka pada perang.

Dia menjalani beberapa operasi, di antaranya rekonstruksi tengkorak dan mengembalikan pendengarannya. Pada 17 Oktober tahun lalu, dia siuman dan berangsur-angsur membaik.
Bermula dari Tulisan

Malala tersohor pertama kali pada tahun 2009 lalu. Saat itu ayahnya yang memiliki sebuah sekolah di Lembah Swat diminta BBC untuk mencari siswi yang bisa menulis pengalaman mereka hidup di bawah kepemimpinan Taliban.

Saat itu, lembah Swat berada di kekuasaan Taliban yang dipimpin Maulana Fazlullah. Taliban melarang televisi, musik, pendidikan untuk wanita dan membatasi pergerakan perempuan. Awalnya, wanita yang akan menulis kisahnya adalah Aisha, tiga tahun lebih tua dari Malala, namun ayahnya melarang karena khawatir keselamatannya terancam.

Akhirnya Malala yang terpilih. Kisahnya mengundang jutaan pembaca di blog BBC.

"Saya mimpi buruk kemarin, ada helikopter militer dan Taliban. Saya mimpi seperti itu sejak militer melancarkan operasi di Swat. Ibuku membuatkan sarapan dan saya pergi sekolah. Saya takut sekolah karena Taliban melarang wanita sekolah."

"Hanya ada 11 murid di kelas yang seharusnya bisa terisi 27 orang. Jumlahnya menurun setelah Taliban mengeluarkan larangan. Tiga kawanku pindah ke Peshawar, Lahore dan Rawalpindi bersama keluarga mereka karena larangan ini," tulis salah satu paragraf dalam laporan Malala pada BBC.

Pertempuran antara militer Pakistan dan Taliban terus terjadi di Swat, sampai kedua kubu sepakat berdamai. Taliban akhirnya mencabut larangan ke sekolah dan Malala bisa kembali belajar.

Menulis untuk BBC membuat namanya terkenal. Usai proyek tersebut, New York Times melanjutkannya dengan membuat film dokumenter dengan Malala pada 2009. Saat itu, keluarga Yousafza mengungsi ke pinggiran kota karena pertempuran kembali terjadi.

Berkat film dokumenter itu, nama Malala semakin melambung, berbagai media menghampirinya, baik dalam dan luar negeri. Dia kerap muncul di acara televisi, mempromosikan pendidikan untuk wanita.

Pada Oktober 2011, Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan menominasikan Malala untuk Penghargaan Perdamaian Anak Internasional dari Yayasan Kids Rights di Belanda. Dia adalah wanita Pakistan pertama yang masuk nominasi.

Pada Desember 2011, dia mendapatkan Penghargaan Pemuda Nasional pertama Pakistan yang diberikan langsung oleh Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani. Dalam pidato kemenangannya, dia mengaku bukan anggota partai politik, namun ingin mendirikan partainya sendiri nanti, untuk mempromosikan pendidikan untuk wanita.

Sejak itu, Malala mengubah cita-citanya, dari dokter menjadi politisi.
Malala semakin dikenal sebagai penentang pengekangan Taliban. Ancaman mati untuknya terus berdatangan, baik dipublikasikan di koran maupun diselipkan di bawah pintu rumahnya. Di akun Facebooknya, dia diteror orang tidak dikenal. Namun Malala tidak gentar dan menghentikan langkahnya.

Akhirnya pada musim panas tahun 2012, Taliban sepakat tidak ada cara lain untuk membungkam Malala selain membunuhnya. Akhirnya terjadilah insiden berdarah di bus sekolah itu.

Dialog dengan TalibanMalala kini tinggal di Inggris bersama keluarganya. Dalam pidatonya di PBB, Malala mengatakan dia tetap akan maju menentang pengekangan dan teroris tidak akan bisa membungkamnya.
"Mereka pikir peluru bisa membungkam kami, tapi mereka salah. Teroris pikir mereka bisa mengubah tujuan saya dan menghentikan ambisi saya. Tapi tidak ada yang berubah di diri saya selain ini: kelemahan, rasa takut dan putus asa telah mati. Kekuatan dan keberanian telah lahir," ujar Malala dalam pidatonya yang menginspirasi itu.

Dalam wawancaranya tengan BBC awal pekan ini, Malala sekali lagi menegaskan bahwa Taliban telah mencoreng ajaran Islam dengan menerapkan hukum syariat versi yang salah kaprah.

"Membunuh orang, menyiksa dan mencambuk mereka, itu bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka (Taliban) telah menyalahgunakan nama Islam," kata Malala pada program khusus BBC "Shot for Going to School".

Dalam wawancara itu, keberanian Malala terlihat jelas. Dia tidak takut pada Taliban. Dia malah menyerukan pemerintah untuk melakukan dialog dengan Taliban demi perdamaian di Pakistan.

"Cara terbaik untuk mengatasi masalah dan menuntaskan perang adalah melalui dialog. Itu bukan urusan saya, itu pekerjaan pemerintah," kata dia.

Malala yang kini bersekolah di Sekolah Khusus Wanita Edgbaston di Birmingham ini juga menyerukan para siswa di Inggris untuk menghargai pendidikan mereka.

"Saya ingin mengatakan bahwa pelajar di Inggris bahwa pendidikan itu sangat berharga, sangat bergengsi, pergilah sekolah," ujarnya.

Soal nominasi Nobelnya dia mengatakan, "Jika saya menang Nobel, maka akan jadi kesempatan baik untuk saya. Tapi jika tidak, itu tidak penting, karena tujuan saya bukan Nobel. Tujuan saya adalah perdamaian dan pendidikan untuk semua anak.

 



Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment