Definisi konsep konflik yang memusatkan perhatiannya pada kekerasan politik (political violence) mengatakan kekerasan sebagai
“all collective attacks wihin a political community against the political regime, its actor — including competing political groups, as well as incumbents — or its politics. The concept represents a set of events, a common property of which is the actual or threatened use of violence…… The concept subsumes revolution, …. Guerilla war, coups d’etat, and riots” ( Gurr dalam Mas’oed, 2000 : 4).
Sekilas nampaknya definisi konsep kekerasan politik oleh Gurr ini sangat luas; yaitu meliputi semua kejadian yang unsur utamanya adalah penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan. Namun sebenarnya pengertiannya terbatas, yaitu hanya mengenai tindakan yang dilakukan oleh aktor atau kelompok aktor yang menentang penguasa negara. Berdasarkan definisi itu, kekerasan politik tidak dilakukan oleh penguasa negara, tetapi oleh mereka yang menetangnya. Padahal, dalam kenyataannya, penguasa juga banyak melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat yang dikuasainya.
Dalam pengertian yang lebih luas kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara wajar. Dan penghalang itu adalah sesuatu yang bisa dihindarkan. Artinya, kekerasan bisa dihindarkan kalau penghalang itu disingkirkan (Galtung dalam Mas’oed, 2000 : 5).
Berdasarkan konseptualisasi Galtung tersebut, kekerasan dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu kekerasan langsung (personal) dan kekerasan tidak langsung (struktural). Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang (aktor) kepada pihak lain (violence-as-action); Kekerasan tidak langsung merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya (build-in) dalam suatu struktur (violence-as-structure). Dengan demikian kekerasan tidak langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan. Kekerasan struktural “terjadi begitu saja, tidak ada aktor tertentu yang melakukannya. Misalnya, anak-anak yang tinggal di pedalaman, yang tidak bisa menikmati pendidikan dan karena itu tidak bisa merealisasikan diri sebaik anak-anak yang tinggal di kota, bukankah akibat jahat seseorang. Penderitaan mereka adalah akibat dari struktur sosial-ekonomi yang timpang dan tidak adil. Dengan kata lain, kekerasan bukan hanya berwujud keadaan yang menimpakan penderitaan atau kesengsaraan pada seseorang. Kekerasan bisa juga berwujud halangan bagi seseorang untuk memperoleh kebaikan atau kebahagiaan.
Dari asumsi Galtung tentang kekerasan, dapat dikembangkan konseptualisasi kekerasan yang memungkinkan pembahasan tentang kekerasan yang tidak hanya dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakatm tetapi juga dilakukan oleh pejabat negara dan pengendali kapital swasta. Dengan kata lain kekerasan yang dilakukan oleh pejabat negara maupun oleh pengendali kapital merupakan tindakan kekerasan politik.
Biasanya tindak kekerasan politik sebagai proses yang beralangsung pada 3 aras, yakni negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas. Dalam masing-masing aras tindak kekerasan itu dilakukan oleh aktor yang berbeda, dengan dimensi, medium dan ruang lingkup yang berbeda.
Mengapa terjadi konflik (tindak kekerasan ?
Dalam menguraikan pertanyaan ini, perlu merujuk kepada beberapa pemikiran para pendukung pendekatan psikologis, yang berasumsi bahwa semua fenomena politik termasuk tindak kekerasan politik, bermula dari pikiran manusia. Berdasarkan asumsi tersebut, mereka berupaya menemukan penyebab dasar kerusuhan yang dipusatkan pada faktor psikologis yaitu perasaan dan kesadaran orang mengenai kekecewaan. Dengan demikian argumennya adalah bahwa kekerasan politik pada aras komunitas itu terjadi karena adanya perasaan frustasi yang mendalam dan meluas di kalangan masyarakat. Terutama dalam wujud dominasi oleh kelompok komunal tunggal atau koalisi dari segelintir kelompok komunal yang tidak meresfon kebutuhan kelompok lainnya dalam masyarakat yang “ menegangkan struktur sosial dan pada akhirnya melahirkan fragmentasi dan konflik sosial yang berlarut-larut”. Kebutuhan kelompok bersifat ontologis dan tidak dapat dinegosiasikan, sehingga, jika konflik muncul, konflik tersebut tampaknya akan bersifat keras, kejam dan irasional (Azar dalam Mill dkk, 2000 : 114). Kebutuhan kelompok bisa juga dalam wujud relative deprivation yaitu ketidak sesuai antara value expectation masyarakat (yaitu harapan akan barang-barang atau kondisi hidup yang mereka yakini sebagai hak) dengan value capability mereka (yaitu kemampuan sistem untuk memungkinkan orang memperoleh barang-banrang atau kondisi yang mereka inginkan. Kondisi deprivasi itulah yang menimbulkan frustasi. Jika itensitas kekecewaan itu semakin tinggi dan menyentuh berbagai lapisan, termasuk kaum elit, maka kekerasan yang muncul akan semakin meluas dan dalam bentuk yang lebih canggih (Gurr dalam Mas’oed, 2000 : 7 ). Dengan kata lain, kekecewaan masyarakat terhadap deprivasi dan perlakuan yang tidak adil merupakan motif utama tindakan kekerasan politik seperti kerusuhan (konflik).
Namun, apakah konflik etnis yang terjadi di Sampit, itu cerminan dari kekecewaan materiil ? Apakah tidak ada persoalan yang non materiil ? Konseptualisasi yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa ditemukan pada teorisasi tentang ethno-nasionalism; yang para pendukungnya terdiri dari dua aliran. Para teoritisi etno-nasionalis yang beraliran primordialist mengajukan argumen bahwa banyak gerakan politik yang berbasis suku yang menekankan nasionalisme etnik. Gerakan politik semacam itu merupakan manifestasi dari tradisi kultural yang masih bertahan yang didasarkan pada perasaan identitas etnik primordial. Jadi, motivasi utama tindakan politik mereka adalah memelihara identitas kultur itu; sesuatu yang immateriil. Sebaliknya, para teoritisi etno-nasionalime yang beraliran “instrumentalis” menafsirkan isu etnisitas itu sekedar sebagai “an exercise in boundary maintenance” Douglas (Gurr dalam mas’oed, 2000). Jadi, mereka berpolitik dengan menggunakan simbol-simbol etnik dengan tujuan memberi tanggapan terhadap perlakuan yang tidak adil dari pihak lain, yang mungkin tidak bersifat materiil. Penggunaan simbol-simbol etnik itu didasarkan pada alasan praktis; yaitu sarana efektif untuk menimbulkan dukungan emosional. Teoritisi lain yang hampir seirama dengan teoritisi etno-nasionalisme yang instrumentalis, yang disampaikan oleh Charles Tilly (Mas’oed, 2000 :8) bahwa kekerasan politik adalah “hasil kalkulasi politik.”
Dari beberapa pendapat para ahli tentang penyebab tindak kekerasan (konflik) sebagai rujukan dalam rangka menguraikan pertanyaan yang diajukan diatas, maka pendapat tersebut dapat dipilah ke dalam dua kelompok : pertama, kelompok teori yang berpendapat bahwa tindak kekerasan (konflik) merupakan reaksi emosional terhadap gangguan dari luar. Kedua adalah para pendukung argumen instrumentalis, yang menyatakan bahwa tindak kekerasan merupakan hasil dari kalkulasi strategis dan keputusan taktis. Apa yang bisa dimanfaatkan dari kedua pendapat tersebut dalam melakukan kajian tentang tindak kekerasan (konflik) di Sampit ?. Pada dasarnya, diantara kedua pendapat tersebut bisa digunakan sebagai pendekatan; karena itu, dalam hal ini kedua pendapat tersebut bisa dimanfaatkan.
Kedua pendapat tersebut telah dibuktikan oleh Gurr dalam penelitian mengenai berbagai kelompok etnik dan komunal yang aktif dalam berpolitik menunjukan bahwa mobilisasi dan strategi mereka didasarkan pada interaksi antara kedua kategori faktor itu.
“ kekecewaan akibat perlakuan pilih-kasih dan perasaan identitas kelompok merupakan landasan dasar bagi mobilisasi dan menentukan jenis tuntutan yang bisa diajukan oleh para pemimpin gerakan. Kalau kekecewaan masyarakat tidak cukup parah, dan identitas kelopok tidak cukup kuat, maka para pemimpin itu tidak punya bahan atau sarana untuk menaggapi ancaman atau peluang yang datang dari luar kelompok. Sebaliknya, kalau kekecewaan itu mendalam dan meluas, diimbangi dengan identitas dan kepentingan kelompok yang kuat, maka tersedialah “rumput kering” yang cukup; tinggal menunggu kesempatan untuk membuatnya jadi terbakar dan ada sarana sebagai pemicu (Mas’oed, 2000 : 9).
Selanjutnya argumennya adalah bahwa konflik cenderung terjadi di dalam masyarakat yang memiliki pemilahan sosial yang consolidated yakni pemilahan yang eksklusif, misalnya pemilahan atas dasar antar etnis, maka konflik akan cepat berubah dan berpindah ke antar agama dan antar kelas.
Kondisi psikologis itu tidak secara langsung mengakibatkan timbulnya perilaku kekerasan (konflik). Namun karena adanya kejadian yang berfungsi sebagai pemicu. Dengan kata lain rumput kering itu perlu percikan api. Selanjutnya, karena pemicu itu tidak bisa diasumsikan sebagai kejadian yang hanya sekali terjadi, tetapi mungkin terjadi sebagai rentetan peristiwa atau kejadian, maka untuk bisa menggugah perhatian massa kejadian pemicu itu perlu dimobilisasi.
Dari beberapa uraian diatas, dapat diajukan keterangan bahwa tindak kekerasan (konflik) berkaitan dengan kondisi psikologis, yang berwujud kekecewaan atau frustasi masyarakat yang meluas dan mendalam yang diletupkan oleh kejadian pemicu. Kalau demikian, pertanyaan berikutnya adalah : Bagaimana kekecewaan atau frustasi menjadi meluas dan mendalam ? Bagaimana munculnya potensi untuk melakukan artikulasi politik kepentingan kelompok yang kurang beruntung itu ?. Ketika akan mengurai pertanyaan diatas, secara konseptualisasi yang bisa dipakai sebagai sandaran untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya konflik di Sampit adalah pendapat dari Azar dan Gurr, karena kedua teorisasi yang dikemukakan oleh Azar maupun Gurr, sama-sama membahas persoalan kaum minoritas.
Implikasi dari pendapat Azar maupun Gurr, dapat diduga ada empat faktor yang dianggap menentukan itensitas kekecewaan dan potensi untuk melakukan tindakan politik sebagai jalan keluar dari berbagai bentuk tekanan.
1. Tingkat keterbelakangan dan penderitaan antar kelompok etnis.
Seberap parah tingkat keterbelakangan atau penderitaan masyarakat lokal (etnis Dayak) bila dibandingkan dengan etnis yang lain. Karena semakin besar perbedaan kondisi antar kelompok etnis, maka semakin kuat alasan untuk kecewa dan semakin kokoh persepsi bahwa mereka memiliki kepentingan bersama untuk melakukan tindakan kolektif. Artinya semakin besar potensi untuk melakukan mobilisasi para anggota kelompok etnis masyarakat lokal dengan ikatan primordialime dan kesamaan hubungan religius.
2. Ketegasan identitas kelompok etnis.
Besar atau kecil kekecewaan kelompok etnis dan potensi untuk mengartikulasi kekecewaan tersebut sangat tergantung pada kekuatan (salience) identitas kelompok etnis masyarakat lokal. Identitas kelompok biasanya sangat mencolok pada masyarakat komunal yang merasa terancam. Identitas kelompok itu meredup atau melemah kalau para anggota kelompok etnis terasimilasi dengan baik melalui atau dalam organisasi pluralis yang keanggotaannya berasal dari berbagai lapisan dan golongan etnis yang ada. Identitas kelompok juga bisa luntur akibat adanya stratifikasi dan segmentasi yang terjadi dalam kelompok. Sedangkan identitas kelompok etnis sangat kuat dapat ditentukan oleh kondisi eksternal : (1) tingkat penderitaan antara kelompok etnis lokal dibandingkan dengan etnis lainnya, (2) tingkat perbedaan kultur antara kelompok etnis lokal dengan etnis lain, (3) itensitas konflik antar kelompok etnis (Dayak dan Madura), dengan kelompok lain maupun dengan negara (pemerintah). Menurut Gurr, faktor pertama dan kedua sulit berubah, namun faktor ketiga mudah berubah.
3. Derajat kohesi dan mobilisasi kelompok etnis.
Kohesi dan mobilisasi antara kelompok etnis terjamin apabila terjadi jaringan komunikasi dan interaksi yang padat (baik). Sebaliknya, kohesi dan mobilisasi akan merosot (rusak) apabila kelompok itu pecah dalam beberapa gerakan dan organisasi politik. Pengorganisasian kepentingan sosial, ekonomi dan politik antar kelompok etnis yang efektif dan dalam satu wadah menjamin kekokohan kohesi dalam masyarakat plural. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam kelompok etnis yang termobilisasi para anggotanya siap untuk menyumbangkan tenaganya dan sumber daya dalam tindakan kolektif demi kepentingan bersama. Namun modernisasi sosial-ekonomi (pembukaan peluang lebih besar masuknya pandangan alternatif) bisa menggerogoti kekokohan kohesi, terutama ketika modernisasi itu membuat kaum muda tidak yakin pada efektivitas lembaga-lembaga tradisionalnya.
4. Kontrol represif oleh kelompok-kelompok etnis Dominan
Daya paksa yang diterapkan dengan tidak adil mendorong munculnya kemarahan dan sikap selalu curiga. Kelompok-kelompok komunal (etnis Dayak) yang dipaksa untuk berada dalam stutus tertekan (rendah) biasanya memendam kekecewaan yang mendalam terhadap kelompok dominan atau eklusif (etnis Madura), tetapi tidak mau melakukan tindakan menentang. Sikap apatis tersebut, terjadi karena keyakinan bahwa perlawanan terbuka bisa mengundang resiko yang sangat buruk. Dalam hal kondisi ketidakberuntungan kelompok etnis Dayak terjadi melalui tindakan kekerasan dan dipertahankan dengan kekerasan pula, maka kekecewaan kelompok etnis akan semakin menguat, tetapi potensi untuk memobilisasi merosot (ciri umum masyarakat di negara yang sedang melaksanakan stated building dan pembangunan ekonomi mengejar pertumbuhan).
2. Kebijakan Sosial Ekonomi dan politik Untuk Resolusi Konflik
Sebagaimana implikasi dari teori konflik yang telah dibahas, konflik di Sampit diduga disebabkan oleh.
1. Tingkat keterbelakangan dan penderitaan antar kelompok etnis.
2. Ketegasan identitas kelompok etnis.
3. Derajat kohesi dan mobilisasi kelompok etnis.
4. Kontrol represif oleh kelompok-kelompok etnis Dominan
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana bentuk penyelesaiannya ?. Menurut Galtung (Miall dkk, 2000 : 22) resolusi konfllik merupakan proses yang harus melibatkan seperangkat perubahan dinamis yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap, dan mentransfortasikan hubungan atau kepentingan yang berbenturan yang berada dalam inti struktur politik. Dalam hal ini penyelesaian konflik mengandung makna tercapainya kesepakatan pihak-pihak yang bertikai yang memungkinkan mereka mengahiri sebuah permusuhan, rasa dendam dengan saling memaafkan satu sama lainnya untuk merajut kembali rasa persaudaraan, senasib dan sepenanggungan dalam hidup bermasyarakat. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, ada beberapa cara atau kebijakan publik untuk resolusi konflik antar etnis di Sampit.
1. Pemberdayaan masyarakat lokal.
Dalam upaya membebaskan masyarakat lokal terperangkap dalam keterbelakangan dan penderitaan, diperlukan kebijakan pembangunan yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat akar rumpun yang menekankan pada kesejahteraan dan pemerataan. Misalnya dengan melaksanakan regulasi program-program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan, yakni penyediaan sarana dan prosarana pendidikan, kesehatan, pemasaran hasil produksi dan transportasi yang selama ini berorientasi kepada daerah perkotaan dan lebih memihak kepada pelaku akumulasi kapital. Karena selama ini kebijakan secara tidak lansung membuat masyarakat akar rumpun teralienasi dan marjinal di kampungnya sendiri.
Misalnya, kehadiran HPH/HTI tidak saja membuat mereka teralienasi dan marjinal di kampungnya sendiri, tetapi menciptakan berbagai tekanan sosial yang lain yang tidak proporsional yang harus dihadapi oleh kaum perempuan dan anak-anak gadis dan pemuda Dayak, yaitu terjadinya “kawin kontrak”, kahadiran tempat-tempat “wanita penghibur” dan pelecehan seksual lainnya oleh para pekerja HPH/HTI serta para migran baru melalui program transmigrasi resmi maupun spontan untuk memberikan pasokan tenaga kerja.
2. Pengakuan dan pembauran kultur dominan
Pada masyarakat plural dan komunal, persoalan identitas kelompok etnis sangat mengganggu hubungan asimilasi dan interaksi di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Karena, sebagaimana yang telah diuraian sebelumnya bahwa besar (kuat) atau kecil (merosot) identitas kelompok etnis ditentukan oleh kondisi eksternal, yakni : (1) tingkat penderitaan antara kelompok etnis lokal dibandingkan dengan etnis lainnya, (2) tingkat perbedaan kultur antara kelompok etnis lokal dengan etnis lain, (3) itensitas konflik antar kelompok etnis (Dayak dan Madura), dengan kelompok lain maupun dengan negara (pemerintah). Dengan demikian, agar faktor eksternal tersebut tidak merupakan hambatan dalam proses interaksi dan asimilasi sosial dalam masyarakat, maka diperlukan sebuah kebijakan dalam upaya mewujudkan budaya dominan (dominan culture) sebagai wadah pembaharuan (melting pot) bagi masyarakat migran yang plural. Misalnya, kebijakan dalam bidang sosial, yakni pengangkatan nilai-nilai budaya lokal dalam kehidupan, dalam bidang ekonomi, pengakuan hak-hak masyarakat adat atas hutan sekitar desa dan dalam bidang politik, penggabungan beberapa etnis dalam organisasi masyarakat dan politik.
3. Pemilahan sosial intersected menjamin kohesi dan mobilisasi kelompok etnis.
Pengorganisasian kepentingan sosial, ekonomi dan politik antar kelompok etnis yang berbenda “latar” (setting) identitasnya akan menjamin komunikasi dan interaksi yang padat (baik). Sebaliknya, kohesi dan mobilisasi atau komunikasi dan interaksi akan merosot (rusak) apabila kelompok itu pecah beberapa gerakan dan organisasi politik yang eksklusif atau tidak terjadi pembauran (pemilahan consolidated). Pada pemilahan consolidated ini, akan lebih mudah merosotnya kohesi dan mobilisasi atas dasar faktor eksternal seperti pada butir 2 diatas. Dengan demikian, sangat diperlukan kebijakan agar pemilahan consolidated pada masyarakat plural sangat dihindarkan terjadi, dan sebaliknya pemilahan intersected sangat dianjurkan. Misalnya, kebijakan dalan bidang sosial – ekonomi yakni tidak adanya pengelompokan tempat tinggal dan lapangan usaha atas dasar dominasi etnis.
4. Menghilangkan kontrol represif kelompok dominan terhadap kelompok minoritas.
Perlakuan atau tindakan daya paksa yang diterapkan dengan tidak adil oleh kelompok etnis dominan terhadap kelompok etnis minoritas, akan menciptakan rumput kering yang siap terbakar, apalagi dengan itensitas yang lebih sering akan mendorong kemarahan dan sikap selalu curiga. Kelompok etnis minoritas (misalnya etnis Dayak) berada dalam status tertekan (rendah) memendam kekecewaan yang mendalam terhadap kelompok dominan atau eksklusif (misalnya etnis Madura), tetapi tidak melakukan tindakan menentang. Untuk menghindari agar kondisi kontrol represif kelompok dominan terhadap kelompok minoritas, maka diperlukan kebijakan dan penegakan hukum serta perbaikan mental aparat, agar tidak menumbuhkembangkan sikap eksklusif kontrol represif atau tekanan oleh kelompok dominan. Misalnya, kebijakan dalam hukum atau peraturan pemerintah lainnya perlu memperhatikan dan mengadopsi hukum adat setempat.
3. Keberhasilan Kebijakan Untuk Resolusi Konflik
Bagaimana kemungkinan keberhasilan kebijakan untuk resolusi konflik ?. Menurut James E. Andeson (Islamy, 1994 : 19) kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Implikasi dari pengertian kebijakan publik ini adalah :
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
2. Kebijakan tersebut berisi tindakan-tindakan pejabat pemerintah;
3. Kebijakanitu merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan pemerintah untuk dilakukan;
4. Kebijakan publik itu bisa positif dalam arti bisa merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu dan;
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat memaksa (otoritatif). Kebijakan publik menurut George C. Edwards II dan Sharsansky (dalam Islamy, 1994 : 18) adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Senada dengan pendapat James E. Anderson dan George C. Edwards II serta Sharsansky diatas, menurut Thomas R. Dye (at all 1994 : 1), kebijakan publik adalah “ whotever government choise to do or not to do” (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Jika pemerintah untuk memilih melakukan sesuatu, maka harus ada tujuan, dan kebijakan publik itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya mencerminkan perwujudan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Dalam penerapan kebijakan publik menurut Peter (1984 : 12), kebijakan publik memiliki berbagai instrumen kebijakan yaitu : 1) hukum; 2) pelayanan/jasa; 3) dana; 4) pajak; dan 5) persuasi, yang digunakan bila instrumen lain gagal mempengaruhi masyarakat.
Menyimpulkan berbagai macam pengertian mengenai kebijakan publik diatas, Islamy berpendapat bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diterapkan dan dilaksanakan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang tidak mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Implikasi pengertian tersebut adalah :
1. Kebijakan publik bentuk perdananya adalah penetapan tindakan-tindakan pemerintah;
2. Kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan, tetapi juga dilaksanakan dalam bentuk nyata;
3. Setiap kebijakan publik dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu;
4. Kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Berdasarkan implikasi pengertian kebijakan tersebut, maka kebijakan akan berhasil apabila dilakukan sesuai dengan proses pembuatan kebijakan. Menurut Dunn (1998 : 43) proses pembuatan kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini divisualkan sebagai proses pembuatan kebijakan. Proses tersebut sebagai tahap penting dari kebijakan publik. Tahap tersebut adalah sebagai berikut :
1. penetapan agenda kebijakan (agenda setting)
2. formulasi kebijakan (policy formulation)
3. adopsi kebijakan (policy adoption)
4. implementasi kebijakan (policy implementation)
5. penilaian kebijakan (policy assesment)
Dalam setiap tahapan diatas, selalu disertai dengan prosedur analisis kebijakan, yang dimulai dengan perumusan masalah, peramalan (prediksi), rekomendasi (preskripsi), pemantauan serta evaluasi. Prosedur analisis ini digunakan untuk mengubah scientific information menjadi policy relevant information.
Kelima tahap penting menurut Dunn diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Agenda setting
Dalam tahap ini, harus ditentukan apa yang menjadi masalah publik yang perlu dipecahkan. Permasalahan ditemukan melalaui proses yang dikenal dengan anam problem strukturing. Problem Strukturing didasarkan pada 4 fase pencarian masalah, menurut (Dunn, 1994 : 226) fase tersebut adalah : pencarian masalah (problen search), pendefinianan masalah (problem defenition), spesifikasi masalah (problem specification), dan pengenalan masalah (problem sensing). Sedangkan untuk merumuskan masalah dapat digunakan berbagai metode yaitu : analisis batas masalah, analisis klasifikasi, analisis hirarkis, sinektik, brainstorming, analisis multi persfektif, analisis asumsional, serta pemetaan argumentasi.
(2) Policy Formulation
Pada tahap ini, diperlukan forcasting yang merupakan suatu prosedur untuk menggunakan konseptual dari masing-masing pilihan kebijakan, dengan menggunakan tehnik-tehnik tertentu. Pada tahap ini para analis mengaplikasikan beberapa teknik analisis untuk menjustifikasi bahwa sebuah pilihan kebijakan adalah lebih baik dari yang lain (Peter, 1984 : 26). Perangkat yang dapat digunakan bagi formulasi kebijakan adalah : 1) analisis biaya manfaat, 2) analisis keputusan dimana sebuah keputusan harus diambil dalam ketidak pastian dan keterbatasan informasi.
(3) Policy Adaption
Pada tahap ini, ditentukan pilihan-pilihan kebijakan melalui dukungan stakeholder. Tahapan ini ditentukan setelah melalui proses rekomendasi, menurut Effendi (2000) langkah rekomendasi meliputi :
a. Pengidentifikasi alternatif-alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasi masa depan yang iinginkan yang merupakan langka terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu.
b. Pengidentifikasian kriteria-kriteria untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan.
c. Mengevaluasi alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar dari efek negatif yang akan ditimbulkannya.
Adapun metode identifikasi alternatif kebijakan menurut effendi (2000) adalah sebagai berikut :
1. Researched analysis and expermentation
2. Analisis tidak bertindak
3. Quich Surveys
4. Review literatur
5. Perbandingan dengan pengalaman dunia nyata
6. Passive collection and classification
7. Tipologi
8. Anologi
9. Brainstorming
10. Perbandingan ideal
Dalam tesis ini penulis menggunakan metode analisis tidak bertindak, perbandingan dengan dunia nyata serta passive collection dan clasification, dengan alasan bahwa dengan metode analisis tidak bertindak, penulis gunakan untuk melihat perbandingan kebijakan yang telah dilaksanakan (staus quo) dan membandingkan dengan keadaan sebenarnya berdasarkan pengalaman dunia yang nyata dengan pengumpulan data telah dibuat klasifikasinya. Dalam menyeleksi atau memeilih alternatif kebijakan guna menentukan kebijakan terpilih diperlukan kriteria relevan yang standar, untuk merekomendasikan alternatif mana yang paling baik untuk mencapai tujuan kebijakan. Dalam penerapan kriteria menurut Patton dan Sawicki (1988) dalam (Keban, 1999 : 46), ada beberapa kriteria penting yang bisa digunakan yaitu : 1) technical feasibility, 2) political viability, 3) economic and financial possibility and 4) administrative operability.
1) technical feasibility
Technical feasibility untuk mengukur apakah keluaran (outcome) dari kebijakan atau program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan, dalam kriteria ini ada dua subkriteria pokok yang diperhatikan yaitu effectiveness dan adequacy. effectiveness menyangkut sejauhmana kebijakan atau program mencapai apa yang diinginkan, sedangkan adequacy untuk melihat seberapa jauh kebijakan/program yang disarankan akan mampu memecahkan persoalan baik keseluruhan maupun sebahagian.
2) political viability
Political viability memperhatikan 5 subkriteria yaitu acceptability, untuk melihat apakah suatu alternatif kebijakan dapat diterima oleh aktor-oktor politik dan para klien dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat; appropriateness, untuk melihat apakah suatu alternatif kebijakan tidak merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat; responsiveness, untuk melihat apakah suatu alternatif kebijakan akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada.
Legal, artinya apakah suatu alternatif kebijakan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, serta equity, guna melihat apakah kriteria alternatif kebijakan yang dipilih menciptakan keadilan dan pemerataan dalam masyarakat
3) economic and financial possibility
Economic and financial possibility, merupakan evaluasi ekonomi dari kebijakan atau program yang ada, meliputi asfek perubahan dalam nilai seperti perubahan aset ekonomi,GDP, human capital, dan non human resources lainnya, aspek economis efficiency, aspek profitability dan aspek cost effectiveness
4) administrative operability
Administrative operability, untuk melihat beberapa elemen administrative seperti autority yang berkenaan dengan kewenangan melaksanakan suatu kebijakan atau program, institusional commitment yang melihat kesamaan komitmen dari administrasi level atas sampai bawah, capability menyangkut kemampuan skill dan staff serta finansial suatu implementor agent, dan organizational support yang berkaitan dengan ada atau tidaknya dukungan peralatan, fasilitas fisik dan pelayanan-pelayanan lainnya terhadap alternatif kebijakan.
(4) Policy Implementation
Implementasi menurut Godon dalam keban (1999 : 49) adalah berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk realisasi prigram, dalam hal ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang diseleksi.
(5) Policy Assesment
Pada tahap ini yang merupakan tahap akhir dari tahap pembuatan kebijakan publik, dilakukan penilian apakah semua proses implementasi sesuai dengan apa yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak, pada tahap ini evaluasi diterapkan. Evaluasi menurut Wibawa, dkk (1994 : 9-10) dilakukan untuk mengetahui proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan dan efektivitas dampak kebijakan.
No comments:
Post a Comment