Saturday, 6 August 2011

“Memperkarakan” Hukuman Mati


Dalam catatan sejarah, hingga tahun 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan hukuman mati. Indonesia salah satunya. Lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk keseluruhan kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium hukuman mati dan 129 negara telah melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.


Indonesia, ternyata masih menerapkan pidana mati untuk beberapa kejahatan yang tercantum dalam KUHP, UU Terorisme dan beberapa UU lainnya. Padahal secara tegas UUD 1945 menjamin adanya pengakuan atas hak untuk hidup sebagaimana dibunyikan dalam pasal 28 ayat (1) “Hak untuk hidup, ...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”


Kenyataannya, menurut catatan Kontras, sejak 1979 sampai 2008, sebanyak 57 orang terpidana mati yang di eksekusi oleh negara. Kasus terbesar itu adalah kejahatan politik sebanyak 24 orang, terorisme sebanyak lima orang, Narkoba sebanyak enam orang dan kasus pembunuhan sebanyak 22 orang. Dan kurun waktu 2008 ke bawah setidaknya Pengadilan di Indonesia sudah menjatuhkan vonis mati terhadap 175 orang terdakwa. Sampai saat ini, masih ada 118 orang lagi yang masih menunggu jadwal kematiannya dari Mahkamah Agung.



Beralih ke Sumatera Barat, sejak 2001 sampai 2011 tercatat sudah menjatuhkan vonis mati terhadap lima terdakwa. Dengan jenis kejahatan yang sama yaitu pembunuhan berencana. Kelima terpidana mati itu adalah: (1) Taroni Hia (2001), terpidana mati kasus Pembunuhan berencana di Bayur, Agam, (2) Irwan Sadawa Hia (2001), terpidana mati kasus Pembunuhan berencana di Bayur, Agam, (3) Eddie Alharison (2005), terpidana mati kasus pembunuhan berencana terhadap Ishihzawa Tomoko, istrinya berkebangsaan Jepang, Payakumbuh, (4) Dodi Marshal (2005), terpidana mati kasus pembunuhan terhadap isterinya Jeni dan anak tirinya di Bukittinggi dengan cara membakar dengan bensin hingga tewas. Bukittinggi dan (5) Ade Saputra (2011) di vonis mati oleh PN Padang dengan kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Siswa STKIP-PGRI Padang.


Atas pembunuhan yang mereka lakukan, majelis hakim berpendapat bahwa tindakan mereka tidak dapat dimaafkan dan tidak berperikemanusiaan. Sehingga tidak ada pertimbangan yang meringankan yang diberikan kepada untuk mereka.


Kasus di atas menarik perhatian masyarakat. Bahkan setiap kali sidang, pengadilan negeri selalu ramai dikunjungi bahkan sampai terjadi aksi penyerangan terhadap pelaku oleh pengunjung. Tidak jarang pengunjung melakukan tindakan yang mencoreng kemuliaan pengadilan (conterm of court) dan cenderung dimaafkan oleh pengadilan.


Dari kelima terpidana mati di atas, sampai hari ini tidak satu pun yang di eksekusi. Tiga di antaranya, Taroni Hia, Irwan Sadawa Hia dan Dodi Marshal melarikan diri dari LP Muaro Padang dan sampai saat ini masih belum ditemukan. Satu orang yaitu Edie Alharison saat ini dipindahkan ke LP Nusakambangan (2011 PK yang diajukan Edie ditolak oleh MA). Satu lagi Ade Saputra (terdakwa) yang baru saja divonis mati PN Padang.


Kondisi lain yang lebih menarik adalah menyikapi kasus pembunuhan berencana Beni Irsal yang dilakukan oleh Agusman (anggota Brimobda Sumbar). Pembunuhan yang terhitung paling sadis dari kasus di atas oleh Jaksa hanya dituntut 18 tahun penjara dan di putus pengadilan dengan 16 tahun penjara. Padahal, disebutkan bahwa dia terbukti dengan dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana dan menguasai sejata api tanpa izin. Selain kasus Agusman, kasus pembunuhan berencana dan pemerkosaan terhadap Anggreini Meiresky siswi SMP berusia 13 Tahun oleh Jaksa hanya dituntut seumur hidup dan hakim pun memutuskan sesuai tuntutan Jaksa.


Kedua kasus di atas tidak menarik perhatian besar oleh masyarakat. Putusannya juga “manusiawi”. Berbeda dengan lima terpidana mati di atas.
Sisi lainnya, ternyata tidak satu pun pelaku korupsi yang di dijatuhi pidana mati oleh pengadilan. Di Sumbar, sampai 2010 saja pidana tertinggi untuk koruptor hanya empat tahun saja. Tak jarang, para pelaku bebas/lepas dari hukum dengan alasan tidak terbukti/perbuatannya bukan pidana. Belakangan, para politisi di Senayan dan beberapa orang di kementrian kasak kusuk untuk melakukan revisi undang-undang pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah menghilangkan ancaman pidana mati.


Kenapa Menolak Hukuman Mati?
Survei PBB pada tahun 1998 dan 2002 terkait dengan hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan praktik hukuman mati lebih buruk dari penjara seumur hidup dalam memberi efek jera pada pidana pembunuhan. Satu hal yang perlu disadari, tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan kesejahteraan dan kemiskinan. Selain itu institusi penegak hukum sepertinya sudah disfungsi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang.


Dengan demikian, jika konsep pemidanaan itu berfungsi untuk menciptakan efek jera baik bagi pelaku dan juga masyarkat, maka pidana mati harus dihapuskan dan diganti. Selain itu Indonesia sebagai negara yang menganut penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga telah menyatakan dengan tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun di dalam Konstitusi serta telah meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang HAM sudah seharusnya menjalankan dan memberikan penghormatan serta perlindungan terhadap HAM itu termasuk di dalamnya “menghentikan seluruh hukuman yang tidak manusia, seperti pidana mati terhadap pelaku kejahatan konvensional”.


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment