Friday 11 July 2014

Dampak Tidak Sahnya Jaminan Terhadap Perjanjian Pembiayaan

PERTANYAAN :Istri menggadaikan dua buah mobil suami tanpa sepengetahuan suami kepada perusahaan finance. Padahal dua buah mobil tersebut merupakan harta bersama. Yang ingin ditanyakan adalah: 1. apakah perjanjian dengan perusahaan finance yang cacat tersebut harus dilunasi pembayarannya mengingat perjanjian tersebut adalah cacat hukum? 2. apakah ada akibat hukumnya dari tidak dibayarnya hutang, apakah istri dapat dikatakan melakukan wanprestasi?

JAWABAN :
TOMMY UTAMA, S.H.

Pertama-tama kami kurang jelas mengenai apakah mobil tersebut memang dijaminkan dengan gadai atau dengan jaminan fidusia. Pada umumnya, perusahaan meminta jaminan mobil dengan menggunakan instrumen jaminan fidusia. Mengenai jaminan fidusia dapat Anda baca lebih lanjut dalam artikel yang berjudul Fidusia dan Kredit Dengan Jaminan BPKB, Bolehkah?.

Dalam uraian pertanyaan Anda, Anda mengatakan bahwa ada seorang istri yang menggadaikan 2 buah mobil tanpa sepengetahuan suaminya kepada perusahaan finance (perusahaan pembiayaan).
Kami kurang jelas apakah perjanjian pembiayaan itu sendiri telah disetujui oleh si suami atau tidak. Untuk itu kami berasumsi bahwa perjanjian pembiayaan itu sendiri juga terjadi tanpa sepengatahuan si suami. Kami juga berasumsi bahwa mobil yang dijaminkan tersebut merupakan harta yang diperoleh dalam perkawinan serta suami dan istri tersebut tidak membuat perjanjian perkawinan sebelum menikah.

Pada dasarnya dalam hal tidak adanya perjanjian perkawinan, harta yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)). Atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 UU Perkawinan). Oleh karena itu, dibutuhkan persetujuan dari si suami untuk menjaminkan mobil-mobil tersebut. Selain itu juga perjanjian utang piutang (perjanjian pembiayaan) antara si istri dan perusahaan pembiayaan tersebut juga harus mendapatkan persetujuan dari si suami, apabila si istri bermaksud untuk menjadikan utang dari perjanjian pembiayaan tersebut menjadi utang bersama dan dapat diambil pelunasannya dari harta bersama. Jika perjanjian pembiayaan tersebut tidak diketahui dan tidak disetujui oleh si suami, maka utang dari pembiayaan tersebut menjadi utang pribadi si istri.

Berdasarkan uraian di atas, maka perjanjian pembiayaannya (utang piutang) sendiri tidak cacat hukum, hanya saja tidak dapat dimintakan pelunasannya dari harta bersama (karena hanya merupakan utang pribadi istri). Akan tetapi perjanjian jaminannya sendiri menjadi batal karena tidak adanya persetujuan dari si suami atas harta bersama (mobil yang dijaminkan). Penjelasan lebih lanjut mengenai batalnya perjanjian jaminan dapat Anda baca dalam artikel Apakah Utang Istri Juga Merupakan Utang Suami?.

Karena yang batal hanya perjanjian jaminannya, maka perjanjian utang piutang (perjanjian pembiayaan) tersebut masih berlaku dan utang si istri tersebut tetap dapat ditagih kepada si istri. Hanya saja apabila istri tidak dapat memenuhi kewajibannya, perusahaan pembiayaan tidak memiliki benda jaminan apapun dari debitor untuk dapat dieksekusi guna melunasi utang tersebut.

Apabila si istri tidak membayar utang tersebut, tentu saja istri dapat digugat atas dasar wanprestasi oleh perusahaan pembiayaan. Dengan sebelumnya perusahaan pembiayaan melakukan somasi terlebih dahulu kepada si istri (debitor).


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment