Sunday 25 March 2012

SITI si Penjual Bakso


Namanya Siti, usianya baru beranjak 7 tahun. Dia bukan anak metropolis yang beruntung, tinggal di sebuah desa di banten, bersama ibunya-karena sang Ayah telah tiada.


Sambil menyeruput kopi di sore-sore yang hujan ini, anda masih merasa beban hidup anda saat ini berat sekali. Pusing memikirkan hutang atau dompet yang tipis terus tak kunjung tebal, maka ada baiknya anda baca kisah nyata ini. Kisah Siti, gadis kecil penjual bakso. Saya temukan kisah ini di TV dan tebaran beritanya di internet, sebuah kisah nyata yang menyentuh.
Sepulang sekolah, tak seperti anak sebayanya yang bisa bermain dan bergembira, dia bergegas pergi ke tetangganya yang punya usaha menjual bakso. Dia ikut menjual bakso. Tentu karena tangan kecilnya tak kuat mendorong gerobak bakso, dia menjual bakso dengan caranya sendiri. Kuah bakso dia masukkan dalam termos nasi, bakso dan mangkok dia tenteng di tangan satu lagi dalam sebuah ember bertutupkan serbet lusuh. Berat? tentu, apalagi untuk ukuran tangan kecila anak usia 7 tahun. Dijalaninya siang yang panas selepas sekolah menawarkan bakso, terseok-seok. Bila bakso laku semua, maka dia akan mendapatkan 2 lembar uang seribuan dari sang "juragan", tapi bila tak laku hanya selembar ribuan yang dia terima. 
Sore itu, sesampai rumah -atau lebih tepatnya gubuk- seperti biasa, tak dijumpainya emak yang belum pulang dari menjadi buruh tani di kampung sebelah. Sambil menahan lapar, sesuai nasihat ibunya, dihampiri tetangga untuk minta ijin mengambil kangkung yang tumbuh liar di empang. Setelah mendapat ijin, Siti kecil terjun ke empang dan mengambil barang dua tiga potong kangkung yang akan dimasak emaknya untuk lauk malam ini : bersama nasi yang tak sampai separuh piring untuk berdua. 
" ya Allah, berilah kesehatan pada Siti, supaya Siti bisa sekolah dan membantu emak. Berilah kesehatan pada Emak, karena hanya Emak teman Siti satu-satunya". Itu doa Siti kecil tiap hari. 
Lalu, patutlah kita bertanya pada diri kita sendiri hari ini. Apakah beban kita seberat yang dipikul Siti dan Emaknya. Betapa kita sangat beruntung bisa membuat anak-anak kita tetap bersekolah, memakai baju seragam dan bermain tertawa selepas dari sekolah. tak cukupkah kita harus bersyukur.

                                                    Syukur letaknya bukan di dompet, dia ada di hati kita.  

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment