Wednesday 25 January 2012

Dicari Pemimpin Waras


Nazarudin nyokot kiri kanan. Wakil rakyat saling tuding soal ruang banggar Rp 20 miliar. Kalapas Nusakambangan masuk bui bekingi bandar narkoba. Jaksa dan hakim ditangkap transaksi perkara. Dan yang punya senjata, dar der dor tembaki rakyatnya. Ini negara edan atau zamannya yang edan?

Negeri ini memang dipenuhi pemimpin tidak waras. Yang wakil rakyat menipu rakyat. Yang pejabat pemerintah ngadali yang diperintah. Penegak hukum memperdagangkan hukum. Dan biasanya, dalam jaman seperti ini, ulamanya juga menjual ayat untuk membenarkan kegilaan sebagai kewarasan. Terus, masih adakah pemimpin kita yang benar-benar waras?

Ada dua puluh Jangka Jayabaya hasil kompilasi berbagai jaman yang memberi tanda lahirnya jaman Kalasuba. Zaman keemasan, zaman cemerlangnya sebuah bangsa. Pertama keleme gabus timbule watu item (tenggelamnya gabus dan batu hitam mengambang). Kedua hadirnya pandito sabuk lemah (pendeta/ulama) bersabuk tanah.


Yang pertama menyiratkan maqom pemimpin itu lebih baik dari yang dipimpin. Lebih cerdas. Lebih luhur budi pekertinya. Lebih rendah pamrihnya. Lebih besar sikap asih dan asuh. Karena itu pula yang dipimpin patuh sak pola tingkahe (terhadap apa saja yang diperbuat).

Tapi zaman ini terbalik. Yang punya sikap luhur justru yang dipimpin. Tegar hidup melarat. Menyertakan batin saat berdoa. Meyakini seyakin-yakinnya Gusti Allah menjamin kehidupan keluarga. Berkat sikap hidup nrimo ing pandum (rezeki dan musibah sebagai berkah), maka berbunga-bunga hidupnya. Bugar badannya. Penyakit terbirit-birit menjauh. Selalu ceria diterpa petaka seberat apa saja.

Beda dengan para pemimpin. Takut miskin rela setor tubuh masuk penjara. Melakukan diplomasi memalukan jika tertangkap korupsi dan tipu-tipu. Ngotot benar untuk membenarkan tindakannya yang tidak benar. Kadang membayar suporter agar terkesan ketidak-benarannya itu seperti betul-betul benar.

Jaman terbolak-balik ini memberi arti, bahwa para pemimpin yang ada sekarang hanyalah gabus yang mengambang. Dia bukan batu hitam yang cerdas dan luhur budi pekertinya. Kalaulah disebut pintar, maka kepintaran otaknya hanya untuk menduitkan kepintarannya. Berpikir diri sendiri tidak perduli dengan orang lain. Dan biasanya gampang stress. Gampang marah. Gampang sakit. Celakanya sulit mati.

Ditinjau dari sisi keberadaban, pemimpin sekarang memang mulai agak beradab, kendati belum benar-benar beradab. Grade-nya sudah naik biarpun masih tetap menempati urutan bawah. Itu karena sekarang sudah jarang terdengar kasus asusila menimpa mereka. Ini sebagai apologia, bahwa para pemimpin sudah mulai tidak berpikir syahwat. Tidak memuaskan nafsu seks an zich, simbol peradaban paling rendah.

Yang terdengar di mana-mana sekarang justru pemimpin yang korupsi. Rakus menumpuk harta. Lahap mengentit anggaran dan memainkan program. Pura-pura bisu dan tuli jika dipertanyakan. Malah ada yang berlagak gendeng segala. Ini dalam skema peradaban disebut peradaban perut. Peradaban terendah kedua setelah syahwat.

Dalam peradaban seperti ini, korupsi bukan sesuatu yang aneh. Semuanya sedang berjamaah melakukan korupsi. Yang masuk bui itu hanya apes. Tidak seimbang membagi hasil jarahan. Atau meniru kera menjadi juri. Habis dilahap sendiri. Akhirnya banyak maling lapor polisi. Melaporkan maling yang tidak adil membagi.

Pemimpin di jaman ini memang belum memakai hati. Dan masih sangat jauh menyandarkan kebijakannya pada akal sebagai lambang peradaban paling tinggi. Semuanya masih didasarkan pada perut untuk perut. Lupa aturan agar perut sehat. Lupa berhenti sebelum kekenyangan. Lupa makan minimal bersama tiga orang. Dan lupa pula asal-usul makanan yang masuk perut.

Wartawanku di Surabaya lama merenung ketika saya tugasi mendiskusikan politik, politisi, negara, dan para pemangkunya dengan orang gila di Rumah Sakit Jiwa Menur. Dan wartawanku di Jakarta terkekeh-kekeh berlarian dikejar dan dilempari batu orang gila sebelum berakrab-ria membicarakan etika, moral, Tuhan dan surga-neraka dengannya. Jawan-jawaban yang terlontar asyik dan inspiratif. Ternyata mereka lebih waras dibanding orang yang mengaku waras.

Menyikapi zaman edan memang kita boleh ikut edan. Edan yang sadar sedang hidup di zaman edan. Selalu waspada karena banyak yang edan mengajak edan dengan godaan edan dan rayuan edan agar kita betul-betul masuk komunitas orang edan. Tapi itu sebatas euphoria keedanan. Tapi dimana posisi ulama sebagai penyadar orang edan?

Jika zaman masih gonjang-ganjing, merunut Jangka Jayabaya, itu tanda ulama belum bersabuk tanah. Belum menyuarakan kebenaran dan belum berani mati demi kebenaran. Mereka masih sering terpeleset menjadi edan. Dan edan pula fatwa serta lakunya. Itukah alasan Said Aqil Siraj mengimbau koruptor jangan sumbang masjid?

Ya, di zaman edan berani miskin dianggap edan. Itu karena kemiskinan dipersamakan dengan aib. Dicibir. Malah diklasifikasikan edan jika menolak menerima uang-uang edan. "Ning sak begja-begjane wong kang edan luwih begja wong kang eling lan waspodo," kata Ronggowarsito dalam Kalatidha. Seberuntung-beruntungnya orang edan masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment