Tuesday, 29 April 2014

PENCOPOTAN JABATAN MONALISA SEBAGAI KEPSEK SMAN 3 PADANG BISA DI GUGAT KE PTUN,KARENA TIDAK SESUAI PROSEDUR.


1. Pengajuan gugatan. 
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. 
2. Isi Gugatan
Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.
Isi gugatan terdiri dari yaitu: 
a. Identitas para pihak 
b. Posita
c. Petitum
3. Pendaftaran Perkara
Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR). 
4. Penetapan Sidang
Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar.


5. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat.
6. Pemberian Kekuasaan
Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.
7. Hakim Majelis
Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8. Persidangan Terbuka untuk Umum
Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara.
9. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan.


10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum.
11. Hak Ingkar
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga
Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak.
13. Pembuktian
Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit). 
14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR.
15. Juru Sita
Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam sengketa TUN, yaitu: (1) adanya ”kepentingan” bagi seseorang atau badan hukum perdata terhadap obyek keputusan TUN; dan (2) adanya bentuk kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum perdata. Kata ”kepentingan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiartikan sebagai ”keperluan” atau ”kebutuhan”, atau dalam bahasa inggris disebut sebagai interest. Interest diartikan sebagai keuntungan atas barang yang dimiliki (Advantage For It Is Your). Apabila dikaitkan dengan sengketa hukum, maka kata ”kepentingan” yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diartikan sebagai ”hak” yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Pemberian makna ”kepentingan” sebagai ”hak”, terkait dengan penjelasan dalam Pasal tersebut bahwa, hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sebagai subyek hukum, maka seseorang atau badan hukum perdata berkedudukan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Jadi yang dimaksud dengan ”kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) adalah hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Seseorang atau badan hukum perdata melakukan gugatan di PTUN karena haknya dirugikan oleh adanya KTUN merupakan syarat keharusan dalam mengajukan gugatan. Pihak yang menggugat harus menunjukkan bahwa ada suatu hak yang dirugikan oleh keluarnya suatu Keputusan TUN. Kerugian yang menimpah hak seseorang atau badan hukum privat dapat bersifat materil, immateril, individu, maupun kolektif. Orang atau badan hukum privat yang kepentingannya dirugikan menurut Indriharto, digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu: (a) orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu keputusan TUN; (b) orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga; dan (c) badan TUN yang lain.
Gugatan dapat dilakukan apabila, dalam keadaan kongkrit, suatu nilai yang harus dilindungi oleh hukum (hak) terdapat kaitan dengan orang yang melakukan gugatan, dan juga terdapat kaitan dengan Keputusan TUN yang bersangkutan. Kepentingan (hak) dalam kaitannya dengan pihak yang berhak mengugat, yaitu: (1) ada hubungannya dengan penggugat sendiri, artinya seseorang tidak boleh menggugat atas namanya sendiri, padahal yang digugat adalah mengenai kepentingan orang lain; (2) kepentingan itu harus bersifat pribadi, artinya penggugat memiliki kepentingan untuk menggugat yang jelas dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain; (3) kepentingan itu harus bersifat langsung, artinya yang terkena langsung adalah kepentingan si penggugat sendiri dan kepentingan tersebut bukan diperoleh dari orang lain; (4) kepentingan itu secara objektif dapat ditentukan baik mengenai luas maupun instensitasnya.
Kepentingan (hak) dalam hubungannya dengan Keputusan TUN yaitu seseorang harus dapat menunjukan bahwa keputusan TUN yang digugat itu merugikan dirinya secara langsung. Hanya keputusan TUN yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkannya saja yang mempunyai arti untuk digugat.
Mengenai bentuk kerugian, apabila menelaah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 yang berbunyi bahwa, ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat. Ganti rugi dinyatakan dalam bentuk uang yang besarnya sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah hingga lima juta rupiah, dengan memperhatikan keadaan yang nyata. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka bentuk kerugian yang diderita oleh penggugat adalah hanya dalam bentuk materil, dan hanya dengan kerugian materil, seseorang atau badan hukum perdata dapat melakukan gugatan pada PTUN.
Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ganti rugi, dinyatakan dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Menurut Pasal tersebut dinyatakan bahwa salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
G. Tinjauan: dasar pengujian Keputusan TUN
Menurut pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ada 2 (dua) hal yang dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan di PTUN, yaiu: (1) KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) KTUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
1. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa, yang termasuk dalam kelompok Peraturan Perundang-Undangan adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Selain 5 (lima) peraturan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan lembaga kenegaraan memiliki kedudukan sebagai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan istilah ”Perundang-Undangan Yang Berlaku”. Tidak ada penjelasan mengenai istilah tersebut, namun dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ”Perundang-Undangan yang berlaku” adalah hukum positif. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang telah dicabut, atau pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Badan/Pejabat yang berwenang, tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim PTUN untuk melakukan pengujian terhadap Keputusan Badan/Pejabat TUN.
Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum yang ”tidak” tertulis dan dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang ”tidak” berwenang, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguji keputusan Badan/Pejabat TUN.
Kata ”bertentangan” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Kata ”bertentangan” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat substansial (materil); dan (c) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang tidak berwenang.
  1. 2. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Sebagian ahli berpendapat bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) merupakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan dalam keadaan tertentu dapat ditarik dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Praktek hukum di Belanda, AAUPB yang mendapat tempat dalam aturan hukum adalah: (1) asas persaman; (2) asas kepercayaan; (3) asas kepastian hukum; (4) asas kecermatan; (5) asas pemberian alasan (motivasi); (6) asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir).
Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, AAUPB belum dijadikan sebagai alasan gugatan, namun setelah adanya Undan-Undang Nomor 9 Tahun 2004, AAUPB secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang tersebut sebagai dasar pengajuan gugatan. Dalam undang-undang ini tidak secara mendetail menyebutkan AAUPB, karena acuannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Dalam teori hukum, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana yang dikemukakan oleh Marbun dan Mahfud, serta menurut pendapat Ridwan HR, namun dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa, AAUPB hanya meliputi 7 (tujuh) bagian, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pengertian AAUPB disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yaitu:
  1. Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan Perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
  2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
  3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
  4. Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
  5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
  6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
  7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara.
H. Pembahasan: kepentingannya yang dirugikan
Indriharto mengklasifikasi pihak-pihak yang merasa kepentinganya dirugikan menjadi 3 kelompok, yaitu : (1) pihak yang dituju oleh keputusan Pejabat TUN; (2) pihak ketiga; dan (3) Badan/Pejabat TUN lain. Kelompok ketiga telah jelas tidak diperbolehkan bertindak sebagai penggugat, namun bagaimana dengan pihak yang termasuk dalam kelompok kedua?
Pasal 53 ayat (1) terdapat kalimat yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dan Pasal 1 butir (3) Undang-Undang PTUN dentang definisi KUTN terdapat kalimat penetapan tertulis…….yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum privat. Dalam penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya ”terkena oleh akibat hukum” Keputusan TUN yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Kalimat dalam penjelasan tersebut (terkena akibat hukum oleh KTUN) berarti hanya orang/badan hukum privat yang dituju oleh KTUN yang dapat disebut sebagai pihak yang merasa kepentinganya dirugikan. Apabila ditelaah kedua pasal tersebut, mengandung kekurangan tentang inisiatif hak menggugat bagi kelompok kedua (pihak lain).
Pasal 1 butir (3) berarti pihak yang berhak mengajukan gugatan adalah hanya mereka yang dituju oleh KTUN, sedangkan kata ”yang merasa kepentingannya dirugikan” dalam Pasal 53 ayat (1) menunjukan adanya hak inisiatif bagi pihak lain untuk menggugat, karena kata tersebut memiliki pengertian yang luas, bukan hanya sebatas kerugian sebagai akibat hukum dikeluarkannya KTUN, tetapi dapat pula mencakup kerugian yang diderita oleh pihak lain, dan kerugian tersebut terjadi akibat adanya KTUN yang ditujukan pada pihak pertama. Dalam Udang-Undang Peradilan tata Usaha Negara, terdapat pertentangan antara Pasal 1 butir (3) dengan Pasal 53 ayat (1).
Misalnya, izin yang diberikan pada seseorang untuk usaha peternakan babi, yang akan menggangu kesehatan anggota masyarakat lain disekitarnya. Dalam penjelasan Undang-Undang PTUN sendiri tidak memberi batasan dan definisi apa dan dalam bentuk apa kerugian tersebut, apakah hanya kerugian yang bersifat secara materil ataukah termasuk kerugian yang bersifat immateril yang diderita oleh orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomnor 43 Tahun 1991 bahwa, bentuk kerugian adalah kerugian yang secara nyata obyektif, sehingga apabila mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, bentuk kerugian sebagai syarat untuk mengajukan gugatan adalah hanya kerugian yang berbentuk secara materil, dan kerugian materil tersebut dapat dihitung dengan nilai nominal uang. Salah satu kekuarangan dalam Undang-Undang PTUN adalah besarnya ganti kerugian hanya sebesar Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah), tergantung besarnya kerugian yang diderita oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Akibatnya, banyak penggugat yang melakukan gugatan dua kali karena kebanyakan dari mereka tidak melakukan gugatan ganti rugi di PTUN karena nilai ganti kerugian yang terlalu kecil, jika dibanding dengan kerugian yang diderita oleh seseorang badan hukum perdata. Biasanya, penggugat mengajukan gugatan untuk mendapatkan putusan hakim PTUN dengan maksud sebagai alat bukti untuk mengajukan gugatan ganti rugi pada peradilan umum sebagai sengketa perdata. Pengajuan gugatan di peradilan umum perdata dimaksudkan untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Gugatan dengan dasar Pasal 1365 dan Pasal 1246 KUHPerdata dianggap penggantian kerugian sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita oleh penggugat. Berdasarkan kedua Pasal tersebut bahwa, kerugian yang diganti oleh Badan/Pejabat TUN bukan hanya kerugian yang dialami secara nyata (materil), melainkan dapat berupa kerugian imateril (keuntungan yang seharusnya diperoleh.
http://www.kliksumbar.com/berita-6195-monalisa-dicopot-ratusan-siswa-sman-3-padang-berdemo.html#.U19pRqn32ho.facebook
http://kabarpadang.com/kepsek-diganti-siswa-sma-3-padang-demo/


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment