Saturday 2 June 2012

SBY langgar Sumpah Presiden dan Konvensi PBB Anti Narkoba


Berdasarkan hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpotensi melanggar Sumpah Presiden untuk menjalankan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya setelah menerbitkan grasi kepada Schapelle Leigh Corby, warga Australia yang divonis hukuman 20 tahun penjara karena tersangkut kasus narkoba. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi Konvensi yang dinamai United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotics Drugs and Psychotropic Substances sejak 1997 melalui UU Nomor 7/1997. "Menjadi pertanyaan apakah Presiden SBY ketika mengabulkan grasi kepada Corby telah memperhatikan UU 7/1997."



Schapelle Leigh Corby (Foto: waspada.co.id)
PERSERIKATAN Bangsa-bangsa (PBB) telah mengadakan konvensi mengenai pemberantasan peredaran psikotropika (Convention on psychotropic substances) Wina, Austria pada awal 1971 yang diikuti 71 negara ditambah empat negara sebagai peninjau. Langkah itu pula yang mendorong lahirnya Konvensi PBB tentang Pemberantasan Narkotika dan Psikotropika pada 1988.

Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi Konvensi yang dinamai United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotics Drugs and Psychotropic Substances sejak 1997 melalui UU Nomor 7/1997.

Berdasarkan hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyatakan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpotensi melanggar Sumpah Presiden untuk menjalankan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya setelah menerbitkan grasi kepada Schapelle Leigh Corby, warga Australia yang divonis hukuman 20 tahun penjara karena tersangkut kasus narkoba.

"Dalam konvensi yang melabel kejahatan perdagangan obat narkotika dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius menentukan dalam Pasal 3 ayat 6 bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum," ungkap Hikmahanto Juwana kepada gresnews.com di Jakarta, Rabu (30/5).

Menurutnya, dalam Pasal 3 ayat 7 Konvensi PBB tersebut diwanti-wanti bahwa narapidana jenis kejahatan ini bila hendak dibebaskan lebih awal, semisal melalui grasi, atau pembebasan bersyarat harus mempertimbangkan bahwa kejahatan perdagangan narkoba merupakan kejahatan serius.

"Menjadi pertanyaan apakah Presiden SBY ketika mengabulkan grasi kepada Corby telah memperhatikan UU 7/1997," ungkap Hikmahanto.

Menurutnya, apabila memang SBY sudah memperhatikan apakah ada kepentingan yang lebih besar dari Indonesia kepada Australia sehingga pemberian grasi dianggap sepadan dengan kepentingan nasional.

"Dua pertanyaan ini harus mendapat jawaban dari pemerintah. Presiden SBY bisa memberi jawaban secara terbuka melalui media massa atau menunggu ketika Granat mengajukan gugatan ke PTUN," ungkap Hikmahanto.

Di tempat terpisah, Ketua Komisi III DPR, I Gde Pasek Suardika menyanggah tudingan bahwa SBY telah melanggar Konvensi PBB tentang pemberantasan narkoba. Pasalnya, grasi adalah hak mutlak yang dimiliki Presiden.

"Grasi itu dimiliki oleh semua negara dan semua kepala negara. Apakah kebijakan negara bisa diintervensi," kata I Gede kepada pers di DPR RI Jakarta, Rabu (30/5).

Harus dapat dibedakan, tambah Pasek, mana yang menjadi kewenangan kepala negara dan pemerintah. Dalam pemberian grasi mutlak milik kepala negara, sementara pemberian remisi itu merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

"Bisa dengan remisi, itu ranahnya pemerintahan. Kalau grasi ranahnya kepala negara," ungkap politisi Partai Demokrat ini lagi.


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment