Thursday 7 July 2011

Calon Hakim Agung Kepergok di Panti Pijat


Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengaku mengantongi lima nama calon hakim agung yang dinilai tidak layak. Penilaian ini didasarkan pada putusan yang dihasilkan para hakim tersebut serta perilakunya selama ini.

"Ada salah satu anggota Peradi yang menyebut menemukan seseorang Calon Hakim yang berada di suatu tempat. Dia melihat orang itu di panti pijat. Apakah itu pantas?" ungkap Ketua Peradi, Otto Hasibunan, usai menemui Komisioner Komisi Yudisial Eman Suparman, Taufiqurohman Syahuri di Gedung KY, Jakarta, Kamis, 7 Juli 2011.

Peradi mengaku pihaknya akan menginvestigasi lebih lanjut terhadap calon hakim tersebut dan meminta data informasi dari perwakilan Peradi di daerah.
"Mengenai nama orang, tidak satupun kita sebut ke KY. Kalau kita menyebut sesuatu kan harus ada buktinya," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Peradi juga memberikan masukan dan konsep pola rekrutmen calon hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Usulan itu adalah, pertama, seleksi hakim agung harus diseleksi dari putusannya.

Jika calon hakim tersebut berasal dari hakim karier, maka yang bersangkutan harus diperiksa dan dilihat bagaimana putusannya selama menjadi hakim di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi.

"Contohnya kalau putusannya ada 10, tapi 9 diantaranya dibatalkan oleh MA, tentunya tidak pantas lagi orang ini menjadi hakim. Apakah putusannya itu dia kuasai kasusnya atau tidak, karena bila hakim menjatuhkan putusan yang dia tidak kuasai perkaranya dan kemudian menimbulkan kesalahan yang luar biasa, ini kan dahsyat akibatnya," terang dia.

Usulan kedua, rekrutmen calon hakim Agung harus melihat kemampuan dan integritas yang akan diambil akan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Mahkamah Agung. Dengan demikian, diharapkan sistem kamar dapat dilaksanakan.

"Kalau keahliannya pidana, maka hakim yang dipilih pun ahli pidana," jelasnya.

Untuk membantu proses seleksi hakim agung yang berasal dari hakim karier, Peradi juga bakal mengirim 45 nama calon hakim ke cabang-cabang Peradi di seluruh Indonesia. Dengan langkah ini, diharapkan anggota Peradi dapat memberi informasi terkait hakim-hakim tersebut.

"Untuk hakim karier, orang ini kan mungkin sekarang ada di Jakarta, tapi mungkin dia pernah jadi hakim di daerah," tutur Otto.

Sementara untuk non karier, Peradi juga akan mengajukan nama-nama tersebut ke seluruh perguruan tinggi seluruh di Indonesia, baik negeri atau swasta.

Usulan ketiga yang diusung Peradi adalah para calon hakim agung harus menjelaskan motivasi calon hakim tersebut melamar menjadi hakim. "Kalau dia sudah pernah menjabat suatu jabatan yang tinggi kemudian mau jadi hakim Agung, pertanyaannya motivasinya apa, jangan-jangan tidak baik," katanya

Peradi mengharapkan dalam satu minggu ke depan sudah menerima laporan dari daerah agar kemudian bisa diserahkan ke KY. "Dari 45 calon hakim agung terdiri dari 23 hakim karier dan sisanya dari advokat maupun dari perguruan tinggi," ujar dia.

Sementara itu, Juru Bicara Komisi Yudisial, Asep Rahmat Fajar mengaku KY mendapat cukup banyak masukkan dan informasi, baik terkait mekanisme seleksi secara umum maupun data rekam jejak calon hakim agung dari Peradi dan juga KAI.
SUMBER : VIVANEWS.COM

Tuesday 5 July 2011

Jabatan Hakim Dibandrol Rp 300 Juta


Ketua Bidang (Kabid) Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki mengungkapkan hakim-hakim paling takut di tugaskan di Provinsi, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Tengah (Sulteng). Pasalnya, dua provinsi ini dianggap sebagai daerah pembuangan hakim yang bermasalah.

"Beberapa hakim yang kami periksa meminta, kalau dijatuhkan hukuman dan dipindahkan jangan sampai ke Palu (Sulteng) dan NTT. Stereotipe dua daerah ini memang sudah melekat, jadi tempat pembuangan hakim," kata Suparman pada Forum Discussion Group (FGD) Indopos (Group JPNN) di Gedung Graha Pena, Jakarta, Jumat (24/6).

Pernyataan Suparman ini menyikapi hakim nakal yang hendak dijatuhi sanksi. Supaya tidak ketahuan bermasalah, makanya dua daerah ini sangat dihindari bertugas.

Suparman mengungkapkan munculnya hakim-hakim yang bermasalah karena proses seleksi hakim yang sudah menggunakan uang. Hakim dibandrol dengan harga jutaan rupiah. Setiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2009, dihargai Rp 150 juta, tahun 2010 Rp 200 juta, sedangkan tahun 2011 seharga Rp 300 juta.

"Setornya kepada pejabat hakim agung. Pengakuan ini diperoleh dari orang tua hakim yang membayar. Jadi, hakim itu dibandrol, tahun ini Rp 300 juta," katanya.

Makanya ketika menjabat kata Suparman, hakim yang membayar saat proses seleksi tidak lagi menghargai profesinya sebagai jabatan yang mulia dan menjaga kehormatan hakim. "Tidak ada lagi pikiran terhormat karena sudah memasang argo," tukasnya.

Suparman juga mengungkapkan ketidakberesan penempatan hakim pada jabatan menjadi Kepala Pengadilan Negeri (PN) . Kata dia, untuk menjadi kepala PN di Jakarta harus membayar uang Rp 250 juta. "Makanya, kalau hakim yang tidak punya uang dan mau menjadi kepala PN lebih baik di Palu dan NTT karena tidak memerlukan uang," ujarnya.sumber : http://www.padang-today.com/?mod=berita&today=detil&id=29524

Saturday 2 July 2011

Perjuangan Nasima, Putri Rumah Bordil


Dulu, ia harus berusaha keras menyembunyikan latar belakangnya, yang bagi sebagian orang adalah aib, demi bisa mendapatkan pendidikan di sekolah. Kini, dengan kepala tegak, Nasima menyebut dengan lantang identitasnya: “Aku Nasima, putri rumah bordil.”

Nasima, kini 32 tahun, menghabiskan hampir seluruh hidupnya di kompleks prostitusi Chaturbhuj-sthan yang diyakini para sejarahwan sudah ada sejak era Moghul--di mana prostitusi telah menjadi seperti tradisi, diturunkan dari generasi ke generasi. Pernah terjebak di dalamnya, Nasima justru lalu menjelma sebagai penyelamat.

Seperti dimuat Al Jazeera, 29 Juni 2011, seorang pembuat film India, Gautam Singh, menceritakan pertemuannya dengan Nasima--yang lalu mengilhaminya membuat film dokumenter berjudul "Daughters of The Brothels". Perjumpaan itu diawali dari ketertarikan Singh pada majalah setebal 32 halaman, Jugnu, yang diterbitkan sebulan sekali oleh pekerja seks di lokalisasi Chaturbhuj-sthan di Bihar, dekat perbatasan dengan Nepal, selama 10 tahun terakhir.

“Penasaran, saya menghubungi majalah itu dan mendapatkan informasi tentang sosok wanita luar biasa di belakangnya,” kata Singh.

Majalah itu didirikan seorang bernama Nasima, yang lahir di dalam kompleks Chaturbhuj-sthan. Tak pernah mengenal ayahnya, ditinggalkan ibunya, Nasima dibesarkan oleh seorang wanita yang dia sebut 'nenek'--meski sama sekali tak ada hubungan darah dengannya. Sang Nenek menyisihkan hasil dia menjual tubuhnya untuk menyekolahkan cucu angkatnya itu. Nasima pun menjadi gadis pertama di komplek pelacuran itu yang mengenyam pendidikan, dalam kurun waktu 300 tahun.

Ketika kembali ke Chaturbhuj-sthan, Nasima tak lagi menjajakan diri. Dengan bantuan sebuah bank lokal, ia mendirikan industri kecil di dalam rumah bordil--pembuatan lilin, bindi, korek api, dan dupa. Dia menawarkan alternatif pekerjaan selain melacur. Dia juga membujuk para pekerja seks untuk menyekolahkan anak mereka. “Sekarang hampir setiap anak di Chaturbhuj-sthan memperoleh pendidikan,” kata Singh.

Lebih dari 50 mantan pelacur sekarang bekerja dengan Nasima--yang mengajari mereka bagaimana membaca dan menulis. Mereka bersama lalu menerbitkan majalah. Tak hanya itu, kelompok Nasima juga berjuang melawan perdagangan perempuan, terutama gadis-gadis malang dari Nepal dan Bangladesh. Pada tahun 2010 mereka berhasil mengirim pulang 20 korban anak perempuan dengan selamat.

Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah. Nasima dan kawan-kawannya harus berhadapan dengan kepala rumah bordil yang terancam bangkrut gara-gara aksinya itu. Preman pun dikirim untuk memukuli dan melecehkan kelompok Nasima. Mucikari, polisi, termasuk tokoh agama, masuk dalam daftar orang-orang yang harus diwaspadai Nasima.

Kagum akan sepak terjang Nasima, Singh memutuskan untuk membuat film dokumenter. Dia pun membentuk sebuah kru berjumlah kecil, dilengkapi kamera ringan agar bisa kucing-kucingan dengan preman.

Dari kelompok Nasima, kru mendengar kisah tragis Boha Tola, daerah lampu merah di Sitamarhi yang sengaja dibakar. Sumber tidak resmi mengatakan setidaknya 100 wanita, pria dan anak-anak hilang, mungkin hangus terbakar.

Dari situ muncul berbagai cerita mengerikan, bagaimana warga dilempar hidup-hidup ke api yang berkobar, termasuk serangkaian kekerasan seksual. Mereka memang tidak pernah resmi terdaftar sebagai penduduk, tapi tidak ada upaya dilakukan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada mereka. Beberapa perempuan dari Chaturbhuj-sthan melakukan mogok makan untuk menunjukkan solidaritas mereka. Namun para demonstran justru dilempar ke penjara.

Sepak terjang Nasima juga pernah dimuat Indian express.com, saat ia meyakinkan pejabat, polisi, dan para pemuka agama bahwa program rehabilitasi ala pemerintah tak akan efektif melawan prostitusi. Solusi jitu, menurut dia, adalah dengan menyejahterakan mereka. Di depan para pejabat ia mengungkapkan, para PSK dipaksa membayar suap ke anggota polisi sebesar 2.000 hingga 3.000 rupee. Atass jasanya, kini setiap rumah memiliki telepon pejabat polisi yang siap menerima pengaduan kapanpun.

Nasima juga membuka lembaga pendidikan di rumahnya di Jalan Shukla, di tengah kawasan prostitusi. Ini pendidikan persiapan selama enam bulan yang memungkinkan murid putus sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke akademi. Nasima pun ikut kursus ini.

Perempuan luar biasa ini juga meyakinkan perusahaan asuransi untuk menyediakan skema asuransi dengan premi minimum. Besarnya hanya 25 rupee per minggu.

Saat berencana menikah, Nasima mengundang kekasih dan keluarganya ke Chaturbhuj-sthan--agar mengetahui dengan jelas asal-usulnya. Ternyata, tak ada satupun pihak yang keberatan. "Aku tak pernah menyesali identitas dan masa laluku," katanya. sumber : http://fokus.vivanews.com/news/read/230271-perjuangan-nasima---putri-dari-rumah-bordil-