Sunday 4 December 2011

PROSES PENEMUAN HUKUM

bahwasanya Penemuan hukum dimana terdapat peristiwa dan tidak ditemukan aturan secara tertulis dalam suatu perundang–undangan maka diberikan kewenangan kepada Hakim dalam meberikan penafsiran.
I. Jenis-Jenis Interpretasi Hukum
Jenis –jenis interpretasi hukum menurut Achad Ali (2002:163-176) yang sering digunakan yakni :

1. Interpretasi dengan metode Subtantif
Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks undangn–undang terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :


a. dengan maksud untuk menguntungkan diri dengan melawan hukum;
b. menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu;
c. dengan menggunakan salah satu upaya penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, atau tidak dijelaskan.
2. Interpretasi Gramatikal
Menurut Achad ali (2002:166) interpretasi Grametikal adalah menafsirkan kata – kata dalam undang –undang sesuai dengan kaidah bahasa. Sedangkan menurut Pitlo (Achmat Ali, 2002:166) interpretasi gramatikal adalah kita mencoba menangkanp arti sesuatu teks menurut bunyi kata-katanya, ini dapat terbatas pada suatu yang otomatis, yang tidak disadari, yang kita lakukan pada saat membaca.
Contoh : Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Perkataan “memiliki dan “Menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri peribadi. Dan Pasal 372 KUHP perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan akan tetapi suatu kasus perdata.

3. interpretasi Historis
Menurut Achad Ali (2002:169) interpretasi historis adalah terdiri atas dua jenis, yaitu: interpretasi menurut sejarah undang –undang dan interpretasi menurut sejarah hukum.
Dalam interpretasi undang – undang hanya dapat diketahui dari orang yang terlibat dalam proses penggodokan suatu perundang –undangan, jadi metode ini adalah kehendak pembuat undang-undang yang dianggap menentukan. Yang dibuktikan dengan beberapa surat-surat dalam pembahasan proses perundang-undangan sampai pada suatu keputusan.
Contoh : undang-undang no. 10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-undangan. Ketika dalam suatu materi undang –undang mebutuhkan interpretasi, maka salah satu metode digunaka adalah metode histroris. Artinya meminta keterangan dari anggota legislatif yang menetapkan atau yang terlibat dalam proses pembentukan undang –undang sampai pada keputusan dalam lembaga legisatif.

4. iterpretasi Sistematis
menurut achad Ali (2002:169) interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang –undangan. Jadi perundang undangan dianggap sebagai suatu sistem yang utuh.
Contoh : dalam suatu masyarakat mengajukan perkara ke pengadilan maka pihak pengadilan tidak boleh menolak dengan alasan buka wewenang atau tidak ada hukum yang mengaturnya. Sebab undang dianggap sebagai suatu sistem yang utuh, tentu ada aturan dalam perundangn undangan yang mengaturnya.

5. interpretasi Sosiologis dan theologis
Achmad Ali (2002:166) bahwa metode menetapkan makna undang-undang berdasarkan tujuan kemasyarakata. Suatu undang–undang yang masih berlaku tetapi sebenarnya sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Interpretasi ini berdasarkan hubungan, kebutuhan masa kini, dengan tidak memperdulikan apakah hal itu pada waktu diundangkannya undang-undang itu dikenal atau tidak.
Contoh : Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan untuk agama Islam pada soal perceraian, pernikahan dan warisan dalam KHI banyak pasal tidak berlaku dalam kondisi sosial sekarang ini; seperti persoalan pembagian warisan 1 : 2 akan tetapi dalam acaara peradilan agama tetap menggunakan 1 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Walaupun aturan tersebut masyarakat belum mengetahui dan menyepakatinya.

6. interpretasi komparatif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum perjanjian internasional.
Contoh: “ perbandingan sistem Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.

7. interpretasi futuristis
Menurut Achmad Ali (2002:175), interpretasi ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum, dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius constitendum
Con toh :

8. interpretasi restriktif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi restriktif adalah metode interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya secara gramatikan tetangga dalam pasal 666 KUH perdata adalah setiap tetangga termasuk seorang penyewapekarangan sebelanya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa.
Contoh : pasal 666 KUH Perdata dalah setiap tetangga termasuk seorang penyewa pekarangan sebelanya. Tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tentangga penyewa.

9. interpretasi ekstensif
Menurut Achmad Ali (2002:175) interpretasi ekstensif adalah metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas–batas hasil interpretasi garamatikal.
Contoh : Pada pasal 492 KUH Pidana ayat (1) “Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan oranglain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati –hati atau dengan mengadakan tindakanpenjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Kalimat “dimuka Umum” bukan hanya dijalan lalu lintas, atau yang mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain. Akan tetapi meliputi semua tempat yang etrsedia bagi umum dalam hal ini losmen-losmen dan tempat minum.

II. Jenis Metode Konstruksi
1. Metode Argumentum Per analogis (analogi)
analogi merupakan salah satu jenis kontruksi hukum yang sering digunakan dala perkara perdata, tetapi yang menimbulkan polemik dalam penggunaannya dalam perkara pidana.
Contoh : dalam Pasal 1576 KU.perdata hanya mengatur tentang jual-beli tidak mengatur tentang wakaf maka hakim wajib melakukan penemuan hukum berdasarkan asas ius curia novit. Mencari esensinya peralihan Hak, maka metode ini digunakan penalaran induksi, berfikir dari yang khusus (Species) ke yang umum (Genus)..
2. Metode Argumentum A’Contrario
Menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya.
Contoh : pada pasal 53 UU No.10 Thaun 2004 menjelaskan “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang undang dan rancangan peraturan daerah”. Penjelasan partisipasi tersebut ketika diatur dalam tatib legislatif. Artinya. keterlibatan bukan menjadi suatu kemutlakan kecuali diizinkan dalam atta terti legislatif.
3. Rechtsvervijnings (pengkongkritan hukum) oleh Hakim
Metode pengkongkritan hukum ini bertujuan untuk mengkongkritkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak.
Contoh : pasal 363 (1) KUHP “dengan tuduhan menyuruh melakukan pencurian, orang yang disuruh melakukan harus orang yang tidak dapat ipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Artinya bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersekutu, harus dilakukan secara turut serta melakukan dan bukan secara pembantuan.
4. Fiksi Hukum
Adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru kepada kita, sehingga tampil personifikasi baru dihadapi kita (satjipto Raharjo, 1982: 136).
contoh : dengan fiksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum yang berlaku sekalipun ia buta huruf atau tidak mengetahuinya sama sekali, berarti ia tetap diatur oleh hukum; contoh Pasal 372 “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Dalam hal ini seseorang sekalipun tidak pernah mengetahui tentang aturan pasal tersebut, ketika ia melakukannya maka ia dikenakan sanksi. Karena dianggap telah mengetahui aturan yang berlaku.


Artikel Terkait Tentang :

2 comments: