Sunday 10 July 2011

Kenapa Dua Putusan MA Soal Prita Bertolak Belakang?


Pengacara Prita Mulyasari menilai Mahkamah Agung tidak konsisten. Hal ini menyusul terbitnya putusan kasasi MA dalam kasus dugaan pencemaran nama baik RS Omni Internasional Alam Sutera melalui internet. Dalam putusan tersebut MA mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum dengan menyatakan Prita bersalah.

Slamet Yuwono, salah satu pengacara Prita menjelaskan ketidakkonsistenan MA tampak dengan membandingkan putusan kasasi dalam kasus pidana dengan putusan kasus perdata, yang dua-duanya melibatkan Prita. Untuk perkara perdata, MA membebaskan Prita dari tuntutan ganti rugi RS Omni Internasional Alam Sutera dan dua dokter yang merasa dirugikan atas perbuatan Prita.

Putusan kasus perdata itu, lanjut Slamet, tentu dilakukan langsung oleh Ketua MA Harifin Tumpa yang hingga kini masih menjabat.

"Di sisi lain, perkara pidana pencemaran nama baik, MA memutuskan mengabulkan kasasi Jaksa. Ini tidak konstiten, ada miskomunikasi," ungkap Slamet kepada Tribunnews.com di Jakarta, Jumat (8/7/2011).

Menurut Slamet, ketika dalam perdata, Prita dimenangkan MA maka seharusnya MA perkuatkan putusan bebas untuk perkara pidananya. "Tapi dengan dikabulkannya kasasi JPU, akan timbul pertanyaan. Ada apa dengan MA? Kenapa dua putusan satu perkara, dan bertolak belakang?" tegasnya.

"Ini harus ditelusuri, kenapa bertolak belakang?" imbuh Slamet.

Seperti diberitakan sebelumnya, MA mengabulkan kasasi yang diajukan JPU terhadap Prita. MA menilai Prita bersalah menyebarkan kritik terhadap RS Omni Internasional Alam Sutera melalui internet. Berdasarkan situs MA, putusan tersebut dikeluarkan pada 30 Juni 2011 dengan nomor perkara 822 K/PID.SUS/2010. Majelis Hakim diketuai oleh Imam Harjadi serta anggota M Zaharuddin Utama dan Salman Luthan.

Ada Disparitas Putusan di Kasus Prita

Sama-sama kasasi namun beda isi putusan. Itu lah yang dialami Prita Mulyasari. Kasus perdata, kasasi Prita dikabulkan MA, namun sebaliknya untuk kasus pidana hakim menerima kasasi jaksa. Kenapa ini bisa terjadi?

"Ini yang namanya disparitas hukum. Satu sistem beda putusan," kata pengamat hukum Unpad, Yesmil Anwar saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (9/7/2011).

Yesmil mengatakan, dua putusan kasasi yang berbeda sangat dimungkinkan terjadi di dalam sistem hukum Indonesia. Sebab, setiap hakim memiliki penilaian berbeda. Padahal hakim semestinya memiliki pemahaman secara komprehensif.

"Hakim ya sekarang masih hanya melihat apa yang terjadi di sidang. Belum mengejar keadilan yang menyeluruh, integral. Hal itu sangat mungkin mengingat hakim memiliki kemandirian untuk menilai fakta hukum," imbuhnya.

Menurut Yesmil, putusan kasasi yang menyatakan Prita bersalah masih bisa dinilai. Ia menyarankan agar Prita mengajukan peninjauan kembali.

"Kalau tidak terima ya silakan untuk ajukan kembali upaya hukum PK. Tapi putusan MA tetaplah putusan yang di satu sisi kita harus hormati," jelasnya.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah karena menggunakan sarana elektronik terkait layanan RS Omni International, Alam Sutera, Tangerang.

Pada 29 Desember 2009 silam, Majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari dari tuntutan jaksa 6 bulan penjara. Alasan utama membebaskan Prita karena unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti. Apakah artinya kini Prita harus menjalani vonis 6 bulan? Hal itu belum jelas benar.

Ketua majelis hakim Arthur Hangewa saat itu menilai, unsur pencemaran nama baik yang didakwakan jaksa kepada Prita, dinilai tidak tepat. Sebab, kata Arthur, email yang dikirim Prita yang kemudian menjadi dasar pengaduan pencemaran nama baik oleh RS Omni hanyalah surat keluhan seorang pasien saja.

Namun rupanya kini MA memenangkan jaksa di tingkat Kasasi. Padahal, untuk kasus perdatanya, MA memenangkan perdata Prita melawan Rumah Sakit Omni International.

Dengan keluarnya vonis tersebut Prita dibebaskan dari seluruh ganti rugi. Hakim Pengadilan Tinggi Banten sebelumnya mewajibkan Prita membayar uang denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional. Kasus Prita menjadi keprihatinan publik sehingga melahirkan gerakan Koin untuk Prita dan berhasil mengumpulkan uang senilai Rp 800 juta.sumber : detik.com


Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment