Wednesday 8 June 2011

Aparat Hukum BOBROK & Rezim PEMBOHONG


NGERI…, jika ternyata mayoritas hakim di Indoneia kelakuannya ‘busuk’ mirip hakim Syarifuddin Umar yang doyan suap dan memainkan putusan peradilan dan lakukan pemerasan. Ngeri, kalau ternyata mayoritas jaksa di negeri ini perilakunya ‘bobrok’ seperti Jaksa Cirus Sinaga yang memainkan perkara. Ngeri, apabila mayoritas pengacara kita tergolong kriteria pengacara hitam yang merangkap men jadi makelar kasus (markus) seperti yang dituduhkan ke pengacara Haposan Hutagalung. Ngeri pula, andaikan hampir semua perwira Polri gampang disuap seperti aparat Rutan Brimob yang disuap mafia pajak Gayus Tambunan.

Bilamana mayoritas aparat penegak hukum kita sudah busuk, maka inalillahi penegakan hukum di Indonesia. Lembaga super body seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diharapkan bisa menjerat dan menyeret para koruptor kelas kakap pun ternyata belum bisa diandalkan sebagai lembaga yang independen dan tidak terkooptasi dan terintervensi kekuasaan serta terkontaminasi kepentingan tertentu. Macam apakah bangsa kita ini? Mengapa tidak mau berbenah diri?

Setelah jaksa Urip Tri Gunawan yang tertangkap basah sedang menerima suap dari pengusaha bermasalah Artalyta Suryani (Ayin) dan hakim Bahasyim Assifie terbukti melakukan pencucian uang dan korupsi senilai Rp 64 miliar serta pemerasan Rp 1 miliar ke seorang wajib pajak. Kini, hakim Syarifuddin Umar tertangakp basah oleh KPK karena menerima suap. Jangan-jangan masih banyak sekali hakim di negeri ini yang kelakuaannya mirip Syarifuddin, bahkan telah menggurita dan merejalela di tanah air ini? Jika benar, maka matilah keadilan di negeri ini.

Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), hakim Syarifuddin yang baru ditangkap KPK setidaknya telah membebaskan 39 terdakwa korupsi. Terakhir, Syarifuddin membebaskan Agusrin Najamudin, Gubernur Bengkulu (yang juga kader Partai Demokrat) dari semua dakwaan korupsi. Hakim tidak memposisikan dirinya sebagai ‘wakil’ Tuhan, yang mengadili perkara seadil-adilnya. Percuma mereka diberi remunerasi uang tunjangan ‘prestasi’. Prestasi hakim kita sejak zaman bahuleha hingga kini tak terlihat perkembangan siginifikan. Toh di luar tidak saja ngobyek tetapi juga malah melakukan pemerasan.

Sudah jadi rahasia umum pula, masyarakat sinis dan mengeluh akibat banyak oknum hakim memenangkan pejabat penguasa dan orang berduit dalam berperkara di pengadilan. Nampaknya, jabatan sebagai titipan amanat rakyat sudah diselewengkan dengan melakukan berbagai pelanggaran rambu-rambu hukum dan etika. Akibat matanya ijo dan silau dengan duit, status hakim dibuat untuk melacurkan diri guna mendapatkan uang sebanyak-bayaknya. Sebelum penegakan hukum di negeri ini yang sudah terlanjur amburadul menjadi semakin rusak berantakan, maka harus ada hukum dan sanksi sosial yang keras terhadap hakim-hakim yang melacurkan diri. Juga kepada jaksa dan polisi yang ‘nakal’.

Tertangkapnya hakim Syarifuddin adalah suatu bukti bahwa mafia peradilan, makelar kasus, pemerasan oleh aparat hukum, kongkalikong dan suap serta berbagai kelakuan kampret, telah marak dan menggurita di kalangan oknum aparat hukum kita. Polisi, jaksa dan hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum sudah bermental pragmatis dan keropos moral sehingga penegakan hukum khususnya pemberatansan korupsi era sekarang ini sudah gagal total. Ibaratnya, sapu yang dipakai untuk membersihkan lantai adalah sapu kotor dan bahkan maaf, ketempelan tahi atau tinja.

Oknum kalangan hakim, jaksa dan polisi, terkesan berlomba-lomba mencari sogokan sebagai cara mencari kekayaan dengan cara instan. Sogokan struktural pun sudah menjadi biasa di setiap lembaga yang ada. Kerusakan sistemik perilaku penegakan hukum telah semakin menyuburkan korupsi. Nampaknya, penegakan hukum di era SBY sekarang ini pemberantasan korupsi dilakukan setengah hati dan penegakan hukum terkesan tebang pilih. Janji-janji SBY saat kampanye dan awal dilantik menjadi Presiden, ternyata hanya sekedar janji belaka alias nonsen (omong kosong) atau NATO (No Action, Talk Only). Mungkin inilah ada kecaman yang menuding Presiden melakukan kebohongan publik.

Sementara orang-orang di sekeliling SBY tidak melakukan koreksi dan mengingatkan Presiden agar menjalankan amanat reformasi. Lebih fatal lagi, kalau mereka yang berada di lingkaran Istana hanya memberikan laporan ABS (Asal Bapak Suka) untuk keuntungan pribadi masing-masing. Persetan Presiden mendapat kecaman publik hingga masa habis jabatannya, yang penting orang-orang dekat kekuasaan ini sudah terpenuhi nafsunya untuk mencari kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan. Apalagi, banyak kalangan aktivis yang dimasukkan ke dalam barisan rezim penguasa SBY. Perangai politik pun menunjukkan hal yang sama. Kini gerbong politik mengajak aktivis untuk melindungi partai.

Dulu para aktivis ini berteriak-teriak karena belum ada kesempatan untuk masuk ke dalam kekuasaan. Setelah ikut menikmati singasana kekuasaan, jangan-jangan mereka sudah lupa dengan persoalan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pun menyindir para bekas aktivis reformasi dan pergerakan yang ‘sakit gigit’ setelah masuk kedalam lingkaran kekuasaan. “Mereka lupa diri dengan masa lalunya sendiri, tanpa malu-malu. Saya heran, seharusnya mereka tampil membela kebenaran, melawan korupsi, tapi malah sakit gigi semua,” sindirnya sembari mengaku kecewa dengan para pejuang demokrasi tersebut. Karena, dia memiliki harapan besar, mereka bisa melakukan perubahan tetapi sayang harapan itu baru sebatas mimpi.

Apakah dulu, belum ada “kesempatan” untuk korupsi. Tapi sekarang, sudah merasakan “nikmat”-nya jabatan dan uang, sehingga pantatnya tidak mau lepas dari sempalan kursi kekuasaan. Apapun cara dilakukan asalkan tetap menempel dan lengket dengan kekuasaan? Di sisi lain, seseorang terpaksa melakukan suap karena adanya sistem pemerasan. Sistem yang diterapkan negara belum berpihak pada rakyat sehingga mereka pun melakukan suap mengingat adanya sistem pemerasan. Pengusaha juga sering menyuap pejabat untuk mendapatkan izin usaha pertambangan. Hal yang menyedihkan, adalah izin yang sudah diperoleh dengan cara menyuap, dijual lagi kepada pengusaha lain dengan harga lebih mahal. Karena itu, ketika dilakukan evaluasi terhadap usaha pertambangan, terdapat ribuan izin usaha pertambangan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Perangai politik pun menunjukkan hal yang sama. Kini gerbong politik mengajak aktivis untuk melindungi partai. Mahfud mencatat banyak mantan aktivis bidang hukum dan HAM turut menjadi kader partai. Mereka berbalik membela perilaku yang dulu ditentang aktivis itu sendiri. “Saya tidak perlu menyebutkan nama. Namun realitas ini banyak dijumpai di kehidupan berpolitik hari-hari ini,” tandasnya. Mahfud menyindir para bekas aktivis reformasi dan pergerakan yang ‘sakit gigit’ setelah masuk kedalam lingkaran kekuasaan. “Mereka lupa diri dengan masa lalunya sendiri, tanpa malu-malu. Saya heran, seharusnya mereka tampil membela kebenaran, melawan korupsi, tapi malah sakit gigi semua,” sindirnya sembari menyatakan kecewa dengan para pejuang demokrasi tersebut. Sebab, dia memiliki harapan besar, mereka bisa melakukan perubahan, tetapi sayang harapan itu baru sebatas mimpi.

Koruptor Ketawa dan ‘Kentuti’ KPK

Virus penyakit kronis korupsi mewabah di semua lembaga, baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Selain mental bangsa kita yang sudah terkontaminasi budaya korupsi, kalangan anggota DPR juga terbiasa bermain suap, korupsi, menjadi makelar proyek dan calo anggaran, serta kolusi dengan penguasa dan pengusaha ‘hitam’. Mungkin sistem rekruitmen dan keanggotaan DPR sudah salah kaprah. Hendaknya perlu diperbaiki sistemnya, yakni bagaimana agar begitu menjadi anggota DPR, semuanya berperilaku jujur dan bersih seperti malaikat. Jangan sistemnya yang permisif dan kolutif, sehingga siapa pun orang jujur yang masuk menjadi anggota DPR akan tertular dan berubah sikap moral mentalnya, dari malaikat menjadi setan. Rusaklah penyelenbggaraan negara ini apabila pihak legislatif yang ditugasi mengawasi pemeintahan, malah mengajak kolusi dan korupsi berjamaah. DPR ibarat pagar makan tanaman. maka, perlu dipikirkan bagaimana sistem di DPR yang bisa mengubah setan menjadi malaikat?

Tak hanya kemampuan dalam mengelola hukum rendah, faktor kepemimpinan di negeri ini juga sangat lemah dalam penegakan hukum. Bahkan, terjadi kolusi politik untuk menghadapi korupsi APBN. Anggaran negara tersandera oleh praktik kolusi politik. Praktik politik di Indonesia menunjukkan bahwa korupsi dilakukan secara berjamaah oleh politisi. Sehingga tidak ada yang berani mengungkapkan korupsi itu karena ikut tersandera. “Kalau lewat tindakan hukum ditangani KPK kan jelas. Tetapi selalu diblokir oleh permainan politik. Semua permasalahan berbelok,” papar Mahfud MD. Kini, perang melawan korupsi mengalami kegagalan di tangan pemimpin sendiri, ibarat ikan busuk dari kepalanya.

Keadilan dan kebenaran hanya milik yang punya uang. Pedang hukum hanya tajam saat berhadapan dengan rakyat biasa, tetapi tumpul ketika menghadapi penguasa dan orang berduit. Keborbokan, kebusukan, kebohongan, kemunafikan, kekotoran, kejahatan hukum seakan dimonopoli oleh penguasa bobrok, politisi busuk dan pengusaha hitam. Kalau korupsi di era SBY sekarang tidak dibudidayakan, mengkhianati amanat reformasi, awas… amuk masa tidak bisa diicegah dan dibendung lagi!

Nampaknya, rezim penguasa SBY sekarang ini adalah rezim intel yang doyan melakukan pengalihan isu maupun kontra intelijen ala orde baru. Salah satunya, untuk mengaburkan dan menutup-nutupi kasus yang terjadi di internal Partai Demokrat yang kini berkuasa, Partai besutan SBY ini melakukan pengalihan isu seperti melontarkan isu nama Sri Mulyani dan Mahfud MD layak sebagai calon presiden 2014 dari Partai Demokrat. Ada dugaan, hal ini dilakukan sebagai upaya pengalihan isu terhadap permasalahan yang tengah terjadi di internal Partai berlambag mercy itu.

Mestinya, KPK bisa panggil paksa Nazaruddin, jika sebagai saksi tidak memenuhi panggilan tiga kali. Apalagi, setelah Nazaruddin dijadikan sebagai tersangka oleh KPK. Akibat KPK pilih bulu (tebang pilih) dan tumpul pisau-nya saat menghadapi pihak partai penguasa, ada plesetan KPK disingkat menjadi Komisi Pesanan Kepentingan (penguasa) alias KPK terkooptasi menjadi kepanjangan tangan penguasa. Nazaruddin kabur ke Singapura, cekal yang diajukan KPK ke Imigrasi terlambat. Apakah cekal yang diajukan KPK ke Kemneterian Hukum dan HAM ini bocor, dan kenapa bisa bocor? Jawabannya adalah perlu diselidiki bahwa internal KPK sudha tidak steril. Hayoo… siapa oknum-oknum petualang dan mak comblang di dalam birokrasi/internal KPK?

Tangkap saja Nazaruddin! Kok mau dijemput dan dirayu-rayu segala seperti tamu penting dan terhormat saja? Kalau Singapura tak mau menyerahkan Nazaruddin, mari kita perangi saja negara tetangga yang menjadi persembunyian maling, perampok dan koruptor dari Indonesia itu. Bahkan, sejumlah elit Partai Demokrat yang dipimpin Sutan Bathoegana sebagai tim penjemput Nazaruddin, ikut-ikutan ‘menghilaang’ alias tidak jelas keberadaannya di Singapura. Mereka sama-sama tidak bisa dikontak dan bungkam. Jangan-jangan mereka menyusun siasat bersama Nazaruddin untuk memanfaatkan waktu untuk bersih-bersih dan cuci piring yang dipakai korupsi Partai berkuasa itu, sebelum diproses KPK yang serba telat dan ‘sengaja’ lelet. Aneh kalau pihak Demokrat berkilah bahwa Nazaruddin suliut dikontak. Wong keluarganya ngaku sering menelepon Nazaruddin, dan bahkan Metro TV bisa kontak Nazaruddin untuk diwawancara langsung didengar pemirsa TV.

Heran, kenapa Nazaruddin yang sudah menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat dan pimpinan Fraksi Partai Demokrat DPR RI, masih saja memposisikan dirinya sebagai pengusaha sehingga diduga terlibat kasus suap proyek wisma atlet SEA Games. Padahal, seorang caleg DPR sebelum mencalonkan diri harus tandatangan bermeterai, sanggup meninggalkan segala profesi, seperti pengusaha, pengacara dan sebagainya. Tapi, kok masih ada Anggota DPR yang merangkap menjadi peengusaha seperti Nazaruddin dan lainnya. Ini KPK kecolongan atau sengaja diam saja atau TST (tau sama tau). Wah?

Nazaruddin kabur ‘minggat’ ke Singapura sejak 23 Mei 2011 atau sehari sebelum dicekal KPK. Jangan lupa, sebelum dipecat dari jabatannya sebagai pengurus partai, Nazaruddin diberitakan terkait kasus suap Semenpora. Ketua MK Mahfud MD juga melaporkan ke KPK soal dugaan kasus suap Nazaruddin. Namun, KPK menyatakan Nazaruddin dipanggil setelah jadi tersangka. Anehnya, janji KPK untuk memeriksa Nazaruddin, pekan lalu, hingga kini belum juga terwujud. Bukankah dia sudah dicekal, kok tak kunjung diperiksa?

Kenapa pula minggu lalu, tiba-tiba SBY ‘melontarkan’ isu SMS gelap dan fitnah? Mengapa juga Ramadhan Pohan menggulirkan isu Mr ‘A’ yang mengobok-obok Partai Demokrat (PD)? Apa untuk pengalihan isu? Harapan rakyat, mendingan tuntaskan saja kasus petinggi PD Nazaruddin yang diduga terlibat suap proyek wisma atlet dan percobaan suap Sekjen MK. Lebih penting lagi buktikan segera ancaman Nazaruddin yang akan mengungkap borok sejumnlah pertinggi PD. Ini kalau SBY selaku Dewan Pembina PD benar-benar mau memberantasan korupsi, bukan sekedar pencitraan dan tebar janji.

Jangan-jangan ucapan SBY agar penegakan hukum dilakukan tanpa tebang pilih hanya jualan kecap alias cari simpati belaka. Buktinya, kader Partai Demokrat (PD) yang terlibat kasus korupsi tidak diperoses hukum secara serius. Contohnya, kasus dugaan suap petinggi PD Johnny Allen Marbun tidak diusut serius oleh KPK, Amrun Daulay sudah ditetapkan tersangka tetapi tidak ditahan, kasus Andi Nurpati terkesan dibiarkan, vonis kasus terdakwa Agusrin ada kejanggalan. Awas, rakyat sudah putus asa dan frustasi dengan pembodohan dan kebohongan publik. Seharusnya, KPK wajib berpihak pada kebenaran dan keadilan. Jangan ‘berpihak’ pada penguasa dan kezaliman!

Diduga kuat, pemilihan Ketua KPK yang lalu sudah dikondisikan dengan adanya konpirasi penguasa, karena pihak DPR mungkin kalau Ketua KPK-nya benar-benar dari orang bersih dan berani, mengingat lembaga terhormat yang menamakan diri wakil rakyat itu juga diduga dipenuhi mafia hukum, makelar kasus dan calo anggaran. Kenapa dulu tidak dipilih Bambang Widjojanto yang ‘berani mati’ sebagai Ketua KPK, kok malah Busyro yang ‘santun’ dan tidak galak? Sehingga, koruptor bia ketawa dan kentuti lembaga anti korupsi itu. KPK di bawah kepemimpinan Busyro Muqoddas jangan setback jauh dari keberanian KPK di era kepemimpinan Antasari Azhar. Jika KPK tetap budeg tak mau dengar kecaman publik, jangan salahkan massa demonstran nanti bila menduduki KPK dan menginjak-nginjak poster wajah pimpinan KPK Busyro Cs.

Untuk memberi efek jera, memang koruptor harus dihukum mati. Jangan bilang hukuman mati melanggar HAM. Koruptor itu juga melanggar HAM, karena uang negara untuk kesejahteraan hak rakyat ditilep dan dijarah oleh koruptor. Bahkan, hukuman ringan bagi koruptor memicu ketidakadilan, karena maling ayam saja mati dihakimi massa. Koruptor di Indonesia harus diberlakukan seperti teroris. Teroris bisa cepat dicari dan ditembak mati oleh Polri. Sedangkan koruptor tidak diusut serius oleh Polri. Hukum yang tegas sepeti di China, koruptor dihukum mati tanpa syarat. Korea malah membantai koruptor sekaligus keluarganya. Jadi, calon koruptor harus ditakuti, awas kalau korupsi, keluargamu juga akan dibantai! 

sumber :  
http://hukum.kompasiana.com/2011/06/07/aparat-hukum-bobrok-rezim-pembohong/

Artikel Terkait Tentang :

No comments:

Post a Comment